Memetaforakan fisik, perilaku, dan pemikiran individu dengan hewan bukan hal baru. Di situs Racial Slurs Database (rsdb.org) kita bisa temui beragam sebutan hewan untuk beragam etnis di dunia. Jumlahnya pun puluhan, bahkan ratusan disertai variasi colloquial-nya.
Asosiasi (maaf) hewan monyet untuk orang berkulit hitam mewakili sejarah kelam peradaban. Jika Scala Naturae berfokus pada dogma keyakinan. Maka secara akademis, di buku Types of Mankind karya Josiah C. Nott dan George R. Glidon tahun 1854 menegaskan rasisme. Dalam buku ini ditulis:
"...in short, they (Bushmen) described by traveller as bearing a strong resemblance to the monkey tribe." hal. 182.
Singkatnya, orang Bushmen dideskripsikan banyak orang mirip sekali dengan monyet. Orang Bushmen adalah suku-suku di gurun Kalahari, di negara Botswana. Dan di dalam buku Nott dan Glidon ini juga disebutkan kemiripan bangsa Afrika dengan orangutan. Â
Hujatan kebinatangan memang bukan hanya pada orang kulit hitam. Di banyak  Â
Bukan saja orang-orang awam yang mengumpat dengan sebutan hewan. Dahulu, orang Jerman bagian selatan menyebut orang Jerman timur, fischkopf (kepala ikan). Sebutan chango (monyet) untuk orang kulit hitam dalam bahasa Hispanic. Atau pakeha yang berarti babi putih yang diutarakan orang Maori untuk penjajah kulit putih.Â
Walau mungkin banyak orang yang tidak memahami Scala Naturae ataupun cemoohan berkemas nama hewan dalam bahasa asing lain. Namun konsep segregasi manusia berdasar fisik diwariskan dan dipelajari dari generasi.
Penelitian Haslam, dkk (2011) menemukan 2 alasan kenapa kita mengumpat dengan sebutan hewan. Pertama:
- "... metaphors were offensive to the degree that they implied a view ofthe target as less than human."Â Umpatan metafora hewan menunjukkan tingkat merendahkan pada orang lain daripada hewan.
- "...offensiveness primarily reflects a transfer of dislike from the animal to the person rather than a denial of the person's humanity." Â Umpatan ini pun merefleksikan ketidaksukaan pada hewan tertentu kepada orang lain, dan bukan martabat orang tersebut.
Oksigen Amplifikasi Berjuluk Sosial Media
Sosial media yang awalnya bertujuan menyatukan. Kini bertiwikrama menjadi medium saling membenci. Tak terkecuali rasisme yang membantu tumbuh suburnya ekstrimisme sampai terorisme.
Budaya merendahkan via dunia digital dapat disebut troll. Menurut laporan Whitney Phillips (2012) dari datasociety.net, perilaku trolling dapat berarti menunjukkan ketidaksetujuan sampai melabeli seseorang sebagai Nazi. Perang memetic (dengan meme) yang awal menjadi bahan bercandaan. Bisa menyulut shitposting sampai tindakan anarki di dunia nyata.