Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rasisme Daring = Scala Naturae + Media Sosial

20 Agustus 2019   20:47 Diperbarui: 20 April 2022   23:44 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu rasisme bukan hal baru dalam peradaban homo sapiens. Bahkan Jared Diamond dalam bukunya Bedil, Kuman, dan Baja mengatakan manusia sudah begitu sombong melekatkan sapiens pada homo sapiens. Sedang sapiens sendiri berarti 'orang bijak' dalam bahasa Latin.

Seperti dijabarkan Diamond lagi dalam bukunya Collapse; Runtuhnya Peradaban Dunia. Apakah benar spesies kita bijak sesuai istilahnya? Sedang banyak sekali keruntuhan peradaban diciptakan manusia. Mulai dari diskriminasi, perbudakan, persekusi, kolonisasi sampai genosida terkait dengan faham rasisme. 

Dari mulai penyingkiran suku Inuit oleh para Viking di Greenland di abad ke 13. Genosida suku Aborigin Australia di abad 18. Sampai yang terjadi di abad 19 dan 20 seperti tragedi Holocaust perang Dunia ke II, konflik etnis di Rwanda, sampai pengusiran paksa Rohingya di Myanmar.

Ada satu benang merah rasisme dan sejarah peradaban manusia menurut Diamond. Keunggulan geografis dan iklim Eurasia menjadi sumber superioritas semu rasisme. 

Narasi imajinatif seperti penyembahan pada entitas adikuasa seperti agama dan norma sekuler seperti demokrasi pun diciptakan. Elemen ini penting untuk mengatur populasi manusia dalam imperium atau negara.

Dogma dan Logika Mendukung Rasisme

Tersirat atau pun tersurat, superioritas manusia atas hewan dan manusia lain disematkan dalam ranah teisme, filosofi, biologi, dan sosial. Dan mungkin ajaran yang paling kuno dan masih diyakini sebagai simbolisme superioritas manusia ada dalam skriptur Scala Naturae.  

Scala Naturae digagas para Neoplatonis abad 17 yang didasarkan pada karya Historia Animalium dan  Republic oleh Plato dan Aristoteles. Dengan tiga konsep fundamental alam; keberlimpahan (plenitude), keberlanjutan (continuity), dan pengklasifikasian (gradation). 

Konsep ini kemudian diadopsi pada ajaran Kristen abad pertengahan. Jagat hidup pun digolongkan ke dalam 6 klasifikasi. Dengan urutan teratas sampai terbawah yaitu: Tuhan, malaikat, manusia, binatang, tanaman, dan mineral. 

Yang teratas, Tuhan, sebagai ens perfectessimum atau yang Maha Esa. Dengan unsur keberlimpahan mineral yang dianggap tidak bisa tumbuh dan bereproduksi.

Ilustrasi Scala Naturae dalam Didacus Valades 1579, Rhetorica Christiana - Ilustrasi: wikipedia.com
Ilustrasi Scala Naturae dalam Didacus Valades 1579, Rhetorica Christiana - Ilustrasi: wikipedia.com
Manusia yang dua tingkat di bawah Tuhan bermakna superioritas terhadap hewan/binatang. Dan bisa jadi disinilah asal mula konsep metafora hewan pada manusia yang berfungsi derogatori. Dengan melupakan kalau kita adalah hewan yang dimispersepsikan bukan sekadar hewan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun