Jika postingan viral tadi masih tentang Capres jagoan kita. Maka perasaan yang timbul bukan lagi sungkan atau sekadar ikut meramaikan. Polarisasi politik yang sudah kuat terbentuk. Kini telah mampu membuat kita sifat militan, tribalisme, bahkan sarkastik dalam berekspresi.
Jika postingan viral dirasa positif untuk Capres pilihan kita. Kita merasa wajib berbagi. Jika postingan dirasa mendelegitimasi Capres pilihan kita. Sekuat waktu, tenaga, dan kuota kita perjuangan citra Capres kita dengan berdebat kusir di kolom komentar.
Maka kembali kita tengok apakah benar kita sudah merasa bebas berekspresi di linimasa? Jika di kolom komentar kita hanya membenarkan apa yang teman yang kita tahu ungkapkan. Menduplikasi mindset kelompok yang kita anggap mayoritas.
Dan bukan hanya soal pilihan Capres kita bercermin pada ilusi kebebasan berekspresi. Foto-foto selfie atau wefie kita setidaknya mirip dengan foto selfie atau wefie yang pernah kita lihat dulu. Style baju dan gaya berfoto untuk selfie pun kita contoh dari postingan serupa dari reseller-nya.
Posting curhat kita pun intinya atau maksudnya pun hampir mirip dengan narasi postingan kawan beberapa waktu lalu. Foto dari tempat Instagramable 11/12 mirip secara filter, angle, sampai saturasinya dari posting yang pernah kita lihat.
Ilusi kebebasan ini begitu kita gandrungi. Ada rasa teduh dan aman dari konflik yang tidak kita ingin. Walau begitu monoton dan banal. Tetapi begitu subtil dan menyenangkan. Sehingga setidaknya kita bisa terus menatapi layar ponsel 1 jam lagi.Â
Absurditas yang menjebak kita pada probabilitas algoritma sosial media. Dengan mengabaikan nilai-nilai interaksi kemanusiaan yang dihiasi konflik dan kebencian. Karena konflik dan kebencian menjauhkan orang menatapi linimasa.
Salam,
Solo, 11 Maret 2019
10:28 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H