Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Absurditas Kebebebasan Berekspresi di Dunia Maya

11 Maret 2019   23:28 Diperbarui: 12 Maret 2019   16:56 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Twin Window Prague oleh Martin Harry - Foto: pixabay.com

Absurdnya makna "kebebasan berekspresi" di sosial media.

Saat opini dan argumen pada linimasa tak lain adalah kerja algoritma. Kita pun terkurung cara berfikir ala confirmation bias. Sebuah perspektif yang cenderung sesuai harapan dan memfortifikasi keyakinan kita sebelumnya.

Belum lagi trending tagar dan posting viral yang biasanya jadi nomor satu di linimasa. Trending menggiring kita untuk percaya kalau orang-orang di sekitar kita berbicara topik yang serupa. Tak jarang posting viral dengan ribuan like, komentar dan share kadang menyita perhatian kita.

Tapi bukankah kita bebas menuliskan komentar? Namun esensi komentar seperti apa yang sebenarnya kita inginkan? 

Sedang algoritma sosial media menyekap kita pada pra-kondisi dengan perspektif auto-indoktrinasi.

Sehingga, alih-alih memberi komentar atau gagasan baru dan berbeda. Kita hanya mereplikasi kandungan emosi dan sensasi pada cara pandang diri kita pada sebuah isu trend. Komentar yang kita bubuhkan hanya ilusi dari kebebasan berekspresi. Komentar kita mewakili mayoritas yang kita percaya mayoritas. 

Ketika platform sosial media kemaruk mencari users' engagement. Maka tak ada pilihan lain selain memberi cara pandang di linimasa yang homogen. Dengan mengumpulkan orang-orang yang sepemikiran, users pun lebih lama berinteraksi di platform.

Ketika perspektif serupa ini dikumpulkan dengan hitung-hitungan algoritma sosmed. Tercipta kegaduhan, keterlibatan, bahkan tak jarang kepopuleran perspektif homogen yang memicu trending. 

Kumpulan akun ini menjadi suara-suara gaduh serupa yang sering dimispersepsi menjadi suara mayoritas. Dan tak jarang dilabeli sebagai kebenaran.

Misalnya, tak heran perspektif kita pada salah satu pasangan Capres akan terus menguat. Bahkan cenderung fanatik atau bahkan "gila". Karena probabilitas munculnya posting dari Capres lawan di linimasa kita hampir nisbi. 

Sehingga pada linimasa macam ini tercipta ruang-ruang yang aman dan non-konflik. Dan dalam dekapan dan kondisi rasa aman ini. Kita disuguhkan ilusi kebebasan berekspresi.

Trending tagar sosmed pun kadang membuat adrenalin kita membuncah. Karena apa yang kita bicarakan dan debatkan bersama di sosmed dirasa besar dan penting. Isu tersebut serasa didengar, diperhatikan, atau mengundang keprihatinan bersama.

Trending terbentuk otomatis dari ribuan atau jutaan tagar serupa yang muncul di satu momentum dan terjaga beberapa lama. Proses ini mendorong mesin algoritma untuk menempatkan tagar tersebut sebagai isu populer.

Namun banyak terjebak dan belum faham paradoks dari sebuah trending tagar. Tagar yang sedang trend kadang adalah koordinasi sistematis dan masif ribuan akun. Baik menggunakan akun robot atau bot. Ataupun berasal dari akun asli yang bergerak atas satu komando.

Lalu benarkah komentar atau posting kita dengan tagar trending memberi kita perasaan bebas berekspresi? 

Jika perspektif kita sebelum tagar trending sudah dikondisikan pada perspektif yang serupa. Linimasa kita yang sudah kadung homogen akan selalu memantau apapun yang kita sukai atau kenal. Tak heran kita begitu mudah memosting tagar yang selalu terkait Capres pilihan kita.

Bukankah kita hanya menjadi pengekor trend saja? Mengiyakan kembali apa yang kelompok homogen kita katakan dan gaduhkan. Seperti sebuah efek domino. Kita hanya medium sebuah narasi dan agenda yang besar dan mungkin disembunyikan dari kita.

Pawn Chess oleh StevPB - Foto: pixabay.com
Pawn Chess oleh StevPB - Foto: pixabay.com
Kita pun menjadi pion-pion yang begitu naif berkorban untuk sang raja yang memiliki sejuta niat dan cara berkuasa.

Postingan viral yang trending dan riuh dengan social gesture pun biasanya berada paling atas di linimasa. Entah itu saat kita membuka aplikasi sosmed. Atau saat sekadar me-refresh feed linimasa kita. Postingan ini tidak bisa kita acuhkan atau hindarkan.

Hati kita pun kadang merasa bersalah jika tidak memberi like atau share. Sebuah perasaan yang akhirnya kita kompromikan sebagai sebuah ekspresi kebebasan. Karena toh sudah banyak like, komen dan share pada postingan. 

Apalagi wajah pada akun yang ikut komentar cukup kita kenali. Walau dari ribuan komentar pada posting viral tersebut. Akun rekan atau saudara yang kita kenal akan muncul setidaknya pada posisi pertama atau kedua dibawah posting tersebut.

Mengapa demikian? Mengapa hal ini tidak pernah kita pertanyakan atau sejenak kita fikirkan. Lagi dan lagi, itulah cerdasnya tipu-tipu algoritma sosial media. Setidaknya agar kita tidak cepat-cepat meletakkan ponsel kita. 

Jika postingan viral tadi masih tentang Capres jagoan kita. Maka perasaan yang timbul bukan lagi sungkan atau sekadar ikut meramaikan. Polarisasi politik yang sudah kuat terbentuk. Kini telah mampu membuat kita sifat militan, tribalisme, bahkan sarkastik dalam berekspresi.

Jika postingan viral dirasa positif untuk Capres pilihan kita. Kita merasa wajib berbagi. Jika postingan dirasa mendelegitimasi Capres pilihan kita. Sekuat waktu, tenaga, dan kuota kita perjuangan citra Capres kita dengan berdebat kusir di kolom komentar.

Maka kembali kita tengok apakah benar kita sudah merasa bebas berekspresi di linimasa? Jika di kolom komentar kita hanya membenarkan apa yang teman yang kita tahu ungkapkan. Menduplikasi mindset kelompok yang kita anggap mayoritas.

Dan bukan hanya soal pilihan Capres kita bercermin pada ilusi kebebasan berekspresi. Foto-foto selfie atau wefie kita setidaknya mirip dengan foto selfie atau wefie yang pernah kita lihat dulu. Style baju dan gaya berfoto untuk selfie pun kita contoh dari postingan serupa dari reseller-nya.

Posting curhat kita pun intinya atau maksudnya pun hampir mirip dengan narasi postingan kawan beberapa waktu lalu. Foto dari tempat Instagramable 11/12 mirip secara filter, angle, sampai saturasinya dari posting yang pernah kita lihat.

Ilusi kebebasan ini begitu kita gandrungi. Ada rasa teduh dan aman dari konflik yang tidak kita ingin. Walau begitu monoton dan banal. Tetapi begitu subtil dan menyenangkan. Sehingga setidaknya kita bisa terus menatapi layar ponsel 1 jam lagi. 

Absurditas yang menjebak kita pada probabilitas algoritma sosial media. Dengan mengabaikan nilai-nilai interaksi kemanusiaan yang dihiasi konflik dan kebencian. Karena konflik dan kebencian menjauhkan orang menatapi linimasa.

Salam,
Solo, 11 Maret 2019
10:28 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun