Trending tagar sosmed pun kadang membuat adrenalin kita membuncah. Karena apa yang kita bicarakan dan debatkan bersama di sosmed dirasa besar dan penting. Isu tersebut serasa didengar, diperhatikan, atau mengundang keprihatinan bersama.
Trending terbentuk otomatis dari ribuan atau jutaan tagar serupa yang muncul di satu momentum dan terjaga beberapa lama. Proses ini mendorong mesin algoritma untuk menempatkan tagar tersebut sebagai isu populer.
Namun banyak terjebak dan belum faham paradoks dari sebuah trending tagar. Tagar yang sedang trend kadang adalah koordinasi sistematis dan masif ribuan akun. Baik menggunakan akun robot atau bot. Ataupun berasal dari akun asli yang bergerak atas satu komando.
Lalu benarkah komentar atau posting kita dengan tagar trending memberi kita perasaan bebas berekspresi?Â
Jika perspektif kita sebelum tagar trending sudah dikondisikan pada perspektif yang serupa. Linimasa kita yang sudah kadung homogen akan selalu memantau apapun yang kita sukai atau kenal. Tak heran kita begitu mudah memosting tagar yang selalu terkait Capres pilihan kita.
Bukankah kita hanya menjadi pengekor trend saja? Mengiyakan kembali apa yang kelompok homogen kita katakan dan gaduhkan. Seperti sebuah efek domino. Kita hanya medium sebuah narasi dan agenda yang besar dan mungkin disembunyikan dari kita.
Postingan viral yang trending dan riuh dengan social gesture pun biasanya berada paling atas di linimasa. Entah itu saat kita membuka aplikasi sosmed. Atau saat sekadar me-refresh feed linimasa kita. Postingan ini tidak bisa kita acuhkan atau hindarkan.
Hati kita pun kadang merasa bersalah jika tidak memberi like atau share. Sebuah perasaan yang akhirnya kita kompromikan sebagai sebuah ekspresi kebebasan. Karena toh sudah banyak like, komen dan share pada postingan.Â
Apalagi wajah pada akun yang ikut komentar cukup kita kenali. Walau dari ribuan komentar pada posting viral tersebut. Akun rekan atau saudara yang kita kenal akan muncul setidaknya pada posisi pertama atau kedua dibawah posting tersebut.
Mengapa demikian? Mengapa hal ini tidak pernah kita pertanyakan atau sejenak kita fikirkan. Lagi dan lagi, itulah cerdasnya tipu-tipu algoritma sosial media. Setidaknya agar kita tidak cepat-cepat meletakkan ponsel kita.Â