Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Eufimisme Kebohongan

6 Februari 2019   22:08 Diperbarui: 7 Februari 2019   08:32 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mask Pulcinella oleh PIRO4D - Foto: pixabay.com

Beredarnya hoaks malah diacuhkan karena keraguan. Dan bukan tak mungkin verifikasinya pun dianggap angin lalu. Karena hoaks politik yang masif dan sistematis tercipta bukan lagi untuk menjatuhkan Capres lain misalnya. Bisa jadi malah menginsinuasi golput dalam Pemilu.

Semakin banyak publik yang bingung membedakan mana fakta dan mana hoaks. Semua kubu saling menuding ini hoaks kubu sebelah. Dan ini fakta yang pihak kami dapat. Maka yang tercipta adalah kekalutan dalam menentukan pilihan dalam Pemilu. 

Mask Pulcinella oleh PIRO4D - Foto: pixabay.com
Mask Pulcinella oleh PIRO4D - Foto: pixabay.com
Free Speech Expression. Pada akhirnya, hoaks bukan lagi kebohongan yang memiliki unsur negasi norma sosial. Tapi di dunia digital, mengucap hoaks menjadi sebuah adagium hak kebebasan berbicara. Dengan kata lain, mereka boleh bohong kenapa saya tidak?

Saat hoaks dicampur aduk dengan fakta dan opini. Yang terjadi adalah hoaks dianggap narasi untuk berekspresi. Kebenaran yang begitu sarkas direkayasa pun viral sesaat demi trending atau klik. Dan satu minggu setelahnya, hoaks tadi pun tinggal cerita.

Seperti cerita-cerita yang selalu muncul di linimasa. Pengalaman liburan seorang teman ke US saat suhu mencapai -57 derajat Celcius, juga bisa viral dan mengundang klik. Narasi penyulut sentimen dan emosi di linimasa sosmed cepat surutnya serupa surutnya emosi sesaat.

Hoaks yang menyulut emosi atas nama suku, ras, agama, dan ideologi tak jauh berbeda. Hoaks tercipta dan disebarkan secepat hoaks tadi terlupakan di hari berikutnya. Dan bisa jadi, bagi beberapa orang hoaks tak lain ocehan tak berfaedah seperti lainnya.

Kebohongan dalam terma hoaks pun menyusut menjadi tuturan dalam posting semata. Menjadi viralitas sesaat. Atau menjadi sumber kegaduhan netizen, yang dilupakan seketika saat ada informasi yang lebih menarik lainnya. 

Ketiga propaganda hoaks diatas setidaknya menjelma dari hakikat hoaks berikut:

Hoaks sama gaibnya dengan dunia maya.
Jika seseorang di hadapan kita dengar berbohong. Tak ayal segala tuduhan otomatis ditujukan pada orang tersebut. Namun di dunia digital, siapa yang bisa ditunjuk hidungnya untuk sebuah kebohongan?

Saat ribuan akun palsu bisa dibuat dan diperbanyak semudah membayar sebuah layanan. Akan lucu bagi seseorang seketika menuduh sebuah akun adalah pembuat dan penyebar hoaks. 

Sedang orang atau kelompk dibalik akun tadi berlindung dibalik 'privacy' sebuah layanan situs dan/atau proxy. Maka kerumitan untuk segera mencari pelaku pengunggah dan penyebar hoaks serumit mencari jarum di dalam jerami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun