Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Eufimisme Kebohongan

6 Februari 2019   22:08 Diperbarui: 7 Februari 2019   08:32 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mask oleh Francesco Ungaro - Foto: pexels.com

Hoaks adalah kebohongan yang dijinakkan esensinya secara digital. Hoaks bukan lagi sebuah kebohongan belaka. Terma ini malah semakin digunakan propagandis untuk saling tuduh. 

Hoaks pun diorkestrasi untuk menciptakan kebingungan publik yang menginsiunasi pilihan abstain. Dan lebih parahnya, mereduksi kebohongan menjadi sebuah kebebasan berekspresi yang viral sesaat.

Kelindan makna hoaks, memang kian kusut. Seperti yang pernah saya tulis disini. Namun kini, hoaks yang berarti misinformasi dalam ruang lingkup digital malah luruh melesap esensi kebohongannya.

Hoaks kian lemah entitas kebohongannya dikarenakan propaganda berikut:

Alternative-truth. Hampir setiap orang kini memiliki otoritas kebenaran digital versi masing-masing, atau post-truth. Yang kini kita lihat media arus utama sudah disusupi unsur partisan. Apalagi yang jelas-jelas hiper-partisan. Maka media alternatif non-terverifikasi menjadi rujukan. 

Media alternatif ini hadir untuk menyuapi keyakinan personal mereka yang anti media arus utama. Dan mereka berhasil. Tanpa perlu verifikasi otoritas jurnalisme terkait. Media alternatif ini memiliki 'fansbase' tersendiri. 

Konsumen media alternatif ini pun merujuk kebenaran yang mereka yakini bukan hoaks. Karena apa saja yang secara digital tertulis sering dianggap benar. Sumber inilah yang menjadi kontra narasi kebenaran yang berasal dari media arus utama.

Hoaks pada propaganda alternative truth bergerak masif dan viral didongkrak akun bot. Psikologi kerumunan atau massa masih menjadi daya tarik. Semakin banyak social gesture, maka dianggap semakin valid sebuah informasi.

Fear, Uncertainty and Doubt. Hoaks bukan lagi sekadar merekayasa dan menyebar kebohongan. Namun membuat iklim ketakutan, ketidakpastian, dan keraguan. Hoaks yang dianggap sepele dan konsisten menumbuhkan benih FUD.

Saat banyak media yang tergerus kredibilitasnya. Juga saat media alternatif dianggap menyuburkan mindset post-truth. Maka publik yang berfikir terjebak dalam keragu-raguan dan hiper-skeptisisme. Siapakah yang harus dipercaya?

Hoaks bernuansa politis memang perlu diverifikasi. Namun yang hoaks bernuansa politis frekuensi kehadirannya tinggi. Saat verifikasi sebuah hoaks baru disebarkan. Sudah muncul hoaks lain. Banyak orang pun jenuh dan jengah akan hal ini.

Beredarnya hoaks malah diacuhkan karena keraguan. Dan bukan tak mungkin verifikasinya pun dianggap angin lalu. Karena hoaks politik yang masif dan sistematis tercipta bukan lagi untuk menjatuhkan Capres lain misalnya. Bisa jadi malah menginsinuasi golput dalam Pemilu.

Semakin banyak publik yang bingung membedakan mana fakta dan mana hoaks. Semua kubu saling menuding ini hoaks kubu sebelah. Dan ini fakta yang pihak kami dapat. Maka yang tercipta adalah kekalutan dalam menentukan pilihan dalam Pemilu. 

Mask Pulcinella oleh PIRO4D - Foto: pixabay.com
Mask Pulcinella oleh PIRO4D - Foto: pixabay.com
Free Speech Expression. Pada akhirnya, hoaks bukan lagi kebohongan yang memiliki unsur negasi norma sosial. Tapi di dunia digital, mengucap hoaks menjadi sebuah adagium hak kebebasan berbicara. Dengan kata lain, mereka boleh bohong kenapa saya tidak?

Saat hoaks dicampur aduk dengan fakta dan opini. Yang terjadi adalah hoaks dianggap narasi untuk berekspresi. Kebenaran yang begitu sarkas direkayasa pun viral sesaat demi trending atau klik. Dan satu minggu setelahnya, hoaks tadi pun tinggal cerita.

Seperti cerita-cerita yang selalu muncul di linimasa. Pengalaman liburan seorang teman ke US saat suhu mencapai -57 derajat Celcius, juga bisa viral dan mengundang klik. Narasi penyulut sentimen dan emosi di linimasa sosmed cepat surutnya serupa surutnya emosi sesaat.

Hoaks yang menyulut emosi atas nama suku, ras, agama, dan ideologi tak jauh berbeda. Hoaks tercipta dan disebarkan secepat hoaks tadi terlupakan di hari berikutnya. Dan bisa jadi, bagi beberapa orang hoaks tak lain ocehan tak berfaedah seperti lainnya.

Kebohongan dalam terma hoaks pun menyusut menjadi tuturan dalam posting semata. Menjadi viralitas sesaat. Atau menjadi sumber kegaduhan netizen, yang dilupakan seketika saat ada informasi yang lebih menarik lainnya. 

Ketiga propaganda hoaks diatas setidaknya menjelma dari hakikat hoaks berikut:

Hoaks sama gaibnya dengan dunia maya.
Jika seseorang di hadapan kita dengar berbohong. Tak ayal segala tuduhan otomatis ditujukan pada orang tersebut. Namun di dunia digital, siapa yang bisa ditunjuk hidungnya untuk sebuah kebohongan?

Saat ribuan akun palsu bisa dibuat dan diperbanyak semudah membayar sebuah layanan. Akan lucu bagi seseorang seketika menuduh sebuah akun adalah pembuat dan penyebar hoaks. 

Sedang orang atau kelompk dibalik akun tadi berlindung dibalik 'privacy' sebuah layanan situs dan/atau proxy. Maka kerumitan untuk segera mencari pelaku pengunggah dan penyebar hoaks serumit mencari jarum di dalam jerami.

Namun yang pasti, dibalik akun-akun penyebar hoaks ada manusia nyata. Seseorang yang begitu takut dan licik akan tindak berbohongnya. Iapun bersembunyi dibalik tembok-tembok digital.

Hoaks itu kreatif dan reaktif, sedang cek fakta itu logis dan menjemukan.
Seperti pernah saya tulis di artikel hoaks sebagai sebuah kreatifitas subversif. Orang yang melek dunia digital bisa dengan mudah membuat kebohongan. 

Tinggal memotong sebuah video, mengubah subtitle, atau merekayasa foto. Beri narasi yang emosional dan huruf kapital pada kalimat pembuka narasi. 

Tak lupa memakai tagar yang trending sambil men-tag banyak orang. Maka kabar bohong demi klik dan sensasi pun bisa diciptakan. Tidak perlu komputer canggih. Hanya sebuah smartphone berisi kuota internet atau WiFi.

Sedang mencek fakta adalah rigiditas berfikir yang berpadu dengan skill digital forensic yang cukup. Kekakuan dalam merepresentasi fakta. Ditambah bahasa yang cenderung ilmiah. Juga beragam link yang butuh kuota untuk diketahui kebenarannya. Membuat fakta menjemukan.

Memahami verfikasi fakta atas hoaks memerlukan waktu berfikir logis. Tak jarang, viralitas hoaks jauh mengungguli verifikasi faktanya. Bukan karena orang tidak mau tahu faktanya. Tapi kadang hoaks yang baru lebih menarik dari verifikasi fakta hoaks sebelumnya.

Anonymous Aluminum oleh Split Shire - Foto: pixabay.com
Anonymous Aluminum oleh Split Shire - Foto: pixabay.com
Hoaks viral dan merugikan karena lemahnya literasi media.
Maka semua kembali kepada manusianya. Hoaks yang kadung viral dan berdampak negatif secara sosial. Tak lain adalah akibat dari lemahnya dan disepelekannya literasi digital dan media dalam pendidikan.

Pendidikan kita timpang karena berfokus pada kognisi bukan critical thinking. Parameter pintarnya peserta didik dinilai dari nilai, raport, UN dan sekolahnya. Dalih collaborative learning menjadi jargon belaka. Karena guru kadang takut jika siswa menjadi kritis dan lebih pintar dari gurunya. 

Pembelajaran masih menjadi mentransfer ilmu dari guru kepada siswa. Siswa cukup diam, perhatikan, dan kerjakan. Karena guru hanya ingin siswa menurut saja. Juga karena guru sudah cukup terbebani sekolah dan administrasi yang menggunung.

Berfikir kritis bukan menjadi pondasi pendidikan kita secara riil. Prinsip ini cukup menjadi narasi idealisme dalam kurikulum. Sistem pendidikan beserta perangkat pendidikan yang juga tak melek digital memperparah iklim negatif hoaks.

Karena yang sering disorot banyak guru dan dosen yang malah menyebarkan hoaks. Saat mereka menuntut peserta didik berfikir kritis. Mereka dengan pongah menyebarkan kabar bohong. Sebuah ironi yang kini sering kita jumpai.

Sehingga, kini hoaks pun kehilangan makna kebohongannya. Dari sulitnya menelusur perekayasa dan penyebar hoaks. Lalu begitu mudahnya hoaks menarik sensasi dan emosi. Ditambah users yang minim berfikir kritis memahami literasi digital dan media.

Hoaks menjadi senjata sekaligus entitas yang dimaklumi di dunia digital. Hoaks bukan lagi dianggap kebohongan yang frontal. Hoaks menjadi kebenaran alternatif, penyetir keragu-raguan, dan medium kebebasan berekspresi.

Jika ketiga propaganda eufemisme hoaks diatas sudah kita alami. Akibatnya bukan main-main. Demokrasi kita sebagai negara bisa terancam.

Salam,

Solo, 06 Februari 2019

10:12 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun