Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat Manusia Hanyalah Data

6 Agustus 2018   22:16 Diperbarui: 6 Agustus 2018   23:16 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita sudah terlalu banyak memberikan informasi pribadi ke internet. IBM memperkirakan sekitar 2,5 Quintillion data diunggah ke internet setiap hari. Jumlah ini setara 2.500.000 Terabytes. Jika dibagi ke ukuran hardisk 1 Terabyte, akan ada 2,5 juta buah. Atau akan ada 5 juta hardisk berkapasitas 500 Gigabyte. 

Revolusi internet sejatinya bukan terjadi pada akses dan koneksi. Tetap pada ledakan jumlah data. Data ini bisa berupa ketikan huruf via grup chat sampai unggahan file ke cloud storage. Dan hampir semua bentuk pengalaman manusia kini diunggah ke internet. 

Baik itu tulisan (via QWERTY), lisan (podcast), visual (foto), sampai audio-visual (video), kita unggah. Seolah manusia tiada berdaya lagi untuk mengingat rekam jejak kehidupannya.

Tak ayal, big data menjadi komoditas vendor teknologi dunia. The Big Four: Alphabet Inc, Apple Inc, Facebook dan Amazon sudah dan sedang mengeksploitasi big data ini demi bisnisnya. Aplikasinya meliputi artificial intelligence, deep learning, sampai internet of things (IoT). 

Berlimpahnya data memberikan vendor teknologi untuk mempermudah sekaligus mengancam hidup kita. Saat banyak orang membagikan data dengan percuma. Limpahan data bisa mendatangkan manfaat dan mudaratnya.

Brexit di tahun 2017 secara tidak langsung diakibatkan perang opini via sosmed. Pada pemilu di US tahun 2016, pembentukan opini pemilih kabarnya disisipi keterlibatan peretas dari Rusia. Di tahun 2011 tragedi di Tahrir Square menjadi masif dan revolusioner karena dipengaruhi Facebook. Revolusi Iran menggulingkan Hossein Mousavi tahun 2009 pun sempat men-down-kan Twitter.

Data pun menjadi barang berbahaya di tangan pihak yang jahat. Kabar bohong penculik via WhatsApp di India kini masih memakan korban jiwa. Vaksinasi pun kini masih menjadi kontroversi sengit banyak pihak di hampir banyak negara. Di negara kita sendiri, kabar politik partisan masih menjadi konsumsi tidak sehat.

Dan kini tiap kita pun menjadi hanya sekadar data.

Dampak langsung manusia yang dijadikan data ini mungkin tidak kita rasakan langsung. Tapi efek terselubungnya ada dan kita harus memahaminya. Berikut saya berikan gambaran sederhana.

Contoh pertama, bagaimana Ojek online (Ojol) masih saja berseteru dengan Ojek pangkalan. Karena provider penyedia kembali pada alibinya, sebagai platform saja. Provider hanya penghubung customer dan pengemudi. Perkara driver ugal-ugalan, bentrok dengan opang, bahkan melakukan tindak kejahatan menjadi urusan driver dan customer.

Sampai saat inipun, seolah tiada titik temu antar regulator dengan provider ojol. Pemerintah via Dephub/Kepolisian mencoba mencari jalan tengah. Tapi tetap, provider hanya ingin untung dari mengolah data customer. Mulai dari perilaku lokalitas customer, sampai iklan tawaran via app menjadi unggulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun