Kita sudah terlalu banyak memberikan informasi pribadi ke internet. IBM memperkirakan sekitar 2,5 Quintillion data diunggah ke internet setiap hari. Jumlah ini setara 2.500.000 Terabytes. Jika dibagi ke ukuran hardisk 1 Terabyte, akan ada 2,5 juta buah. Atau akan ada 5 juta hardisk berkapasitas 500 Gigabyte.Â
Revolusi internet sejatinya bukan terjadi pada akses dan koneksi. Tetap pada ledakan jumlah data. Data ini bisa berupa ketikan huruf via grup chat sampai unggahan file ke cloud storage. Dan hampir semua bentuk pengalaman manusia kini diunggah ke internet.Â
Baik itu tulisan (via QWERTY), lisan (podcast), visual (foto), sampai audio-visual (video), kita unggah. Seolah manusia tiada berdaya lagi untuk mengingat rekam jejak kehidupannya.
Tak ayal, big data menjadi komoditas vendor teknologi dunia. The Big Four: Alphabet Inc, Apple Inc, Facebook dan Amazon sudah dan sedang mengeksploitasi big data ini demi bisnisnya. Aplikasinya meliputi artificial intelligence, deep learning, sampai internet of things (IoT).Â
Berlimpahnya data memberikan vendor teknologi untuk mempermudah sekaligus mengancam hidup kita. Saat banyak orang membagikan data dengan percuma. Limpahan data bisa mendatangkan manfaat dan mudaratnya.
Brexit di tahun 2017 secara tidak langsung diakibatkan perang opini via sosmed. Pada pemilu di US tahun 2016, pembentukan opini pemilih kabarnya disisipi keterlibatan peretas dari Rusia. Di tahun 2011 tragedi di Tahrir Square menjadi masif dan revolusioner karena dipengaruhi Facebook. Revolusi Iran menggulingkan Hossein Mousavi tahun 2009 pun sempat men-down-kan Twitter.
Data pun menjadi barang berbahaya di tangan pihak yang jahat. Kabar bohong penculik via WhatsApp di India kini masih memakan korban jiwa. Vaksinasi pun kini masih menjadi kontroversi sengit banyak pihak di hampir banyak negara. Di negara kita sendiri, kabar politik partisan masih menjadi konsumsi tidak sehat.
Dan kini tiap kita pun menjadi hanya sekadar data.
Dampak langsung manusia yang dijadikan data ini mungkin tidak kita rasakan langsung. Tapi efek terselubungnya ada dan kita harus memahaminya. Berikut saya berikan gambaran sederhana.
Contoh pertama, bagaimana Ojek online (Ojol) masih saja berseteru dengan Ojek pangkalan. Karena provider penyedia kembali pada alibinya, sebagai platform saja. Provider hanya penghubung customer dan pengemudi. Perkara driver ugal-ugalan, bentrok dengan opang, bahkan melakukan tindak kejahatan menjadi urusan driver dan customer.
Sampai saat inipun, seolah tiada titik temu antar regulator dengan provider ojol. Pemerintah via Dephub/Kepolisian mencoba mencari jalan tengah. Tapi tetap, provider hanya ingin untung dari mengolah data customer. Mulai dari perilaku lokalitas customer, sampai iklan tawaran via app menjadi unggulan.
Contoh kedua, begitupun dengan provider toko online. Mereka benar-benar mengeksploitasi kita sebagai konsumen. Dengan data cookies online, toko yang pernah dikunjungi, sampai lama kita di satu tempat belanja mereka ukur. Sehingga setiap app di HP kita menayangkan apa yang sudah kita lihat. Mungkin juga memprediksi barang apa yang kita inginkan.
Dalam hal menjual barang pun, pelapak ditodong demi visitor. Jika tidak membeli fitur premium, koin, push, dsb. Barang yang kita jual urung juga terjual dalam waktu lama. Utak-atik tag ala SEO yang biasa dilakukan pelapak kadang kalah dengan deep learning mesin toko online. Pelapak pun mau tak mau turut ketentuan toko online.
Sebelum sampai pada tahap dimana olahan data mampu menggantikan kerja manusia. Indonesia berada pada persimpangan kepentingan kapitalisasi via data dan pengguna internet yang gagap literasi digital. Contoh sederhananya, bagaimana data kita rentan disalahgunakan aplikasi fintech dengan tawaran hutangnya. Atau dalam skala nasional, ada pihak-pihak yang mencoba mencoba meretas server KPU paska Pilkada kemarin.Â
Kini menjadi tantangan generasi untuk melek dunia digital. Sebagai netizen jangan mau sampai diperbudak internet. Hal ini karena dalam ranah sosbud dan pendidikan Indonesia, dunia digital masih dalam tahap instrumentasi. Padahal kini, dunia digital adalah artefak kebudayaan yang menyatu dengan kehidupan manusia modern.Â
Masihkah kita diam lalu menjadi sekadar data?
Salam,
Solo, 6 Agustus 2018
10:13 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H