Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karya Karma Bagian 15

4 November 2016   18:12 Diperbarui: 4 November 2016   18:19 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Darker - foto: Maciej Goraczko

Disclaimer:

Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)

"Ya ya pak Jenar. Selamat bertugas. Staf saya nanti hubungi soal transfer. Dan mungkin lain waktu kita bisa keluar dan have fun. Boleh pak Jenar?" sambil menjabat tangan inspektur Jenar. Tawa ringan Fahri mengukuhkan keculasan keduanya.

"Baiklah pak Fahri." ia pun segera beranjak dari kantor. Bak angin yang datang dan pegi tanpa kesan. Hanya rasa yang inspektur Jenar. Rasa picik kongkalikongnya dengan Fahri tercium membaui ruangan Fahri yang begitu mewah. (Bagian 14)

* * *

Mariam masih tidur saat Inspektur Jenar masuk. Ia sempatkan membuka jendela kamar. Sudah terasa pengap dan bau antiseptik menyengat di kamar Mariam. Rumah sakit selalu saja pucat. Terasa sendu dengan kematian dan rasa ditinggalkan.

Inspektur Jenar diam menatap Mariam di samping tempat tidur. Menatapi nasibnya yang malang. Diamputasi tangan kanannya. Dibedah tidak keruan perutnya. Betapa malang nasib Mariam.

'Apakah ini karmanya? Memang dia licik dan licin. Untung saja nyawanya belum hilang. Aku pun takut jika W. dan ayahnya melakukan hal ini kepadaku. Sial!' lirih berkata dalam hati Inspektur Jenar bertanya-tanya. 

Cukup lama ia menatap Mariam. Sehingga Mariam pun terbangun dari istirahatnya.

"Inspektur Jenar? Pagi sekali sudah berada disini? Tidak berkantor Inspektur?" Mariam memulai bertanya. Karena Mariam memang sudah lama kenal dengan Inspektur Jenar.

"Nanti siang baru ke markas bu Mariam. Sudah merasa baikan?"

"Sudah mendingan inspektur. Siapa pelakunya Inspektur? Polisi seharusnya sudah tahu siapa yang melakukan ini?" Mariam sesegera bertanya antusias.

"Tenang bu Mariam. Para pelaku sudah diketahui. Pihak kepolisian sedang mengejar mereka saat ini."

"Para...? Berarti lebih dari satu orang? Siapa mereka? Kenapa mereka melakukan ini kepada saya?" dengan kekalutan dan kebingungan Mariam bertanya hal ini. Masih terbersit gambaran gelap di ruang Kesempurnaan itu. Betapa nelangsa Johan mendekati kematiannya. Betapa menderitanya Hendra saat peluru menembus pelipisnya waktu itu.

"Benar bu Mariam ada tiga orang yang sudah kami kenali. Yang satu sudah mati. Sedang dua tersangka lagi masih dalam pelarian."

"Semoga mereka tertangkap. Sungguh nista perbuatan mereka ke saya. Tapi... tapi..." Mariam ragu-ragu mengutarakan hal ini. Ia pun tengok kanan kiri. Mencoba memastikan tidak ada orang yang mendengarkan apa yang ia akan ucapkan ke Inspektur Jenar.

"Tapi apa bu Mariam?" Inspektur Jenar bertanya. Namun terbersit jawaban yang sudah ia duga.

"Semua orang yang ada di ruangan itu dulu adalah rekanan kita." Mariam memandang serius Inspektur Jenar. Karena Mariam tahu pasti ia tahu apa yang sedang ia bicarakan.

"Benar bu Mariam. Mereka semua adalah rekanan kita. Dan sepertinya mereka akan tetap mengincar bu Mariam. Ibu tidak usah khawatir. Ada beberapa polisi berjaga diluar kamar ibu."

"Sudah kuduga. Ini karma kita inspektur. Hal itu yang selalu orangtua dalam ruangan itu bilang. Karma karena perbuatan korup kita selama ini. Saya hampir percaya hal ini inspektur. Tapi polisi berhasil mengeluarkan saya dari ruangan neraka itu." Mariam menghela nafas. Di wajahnya terbayang rasa bersalah. Kenapa ia tidak mati saja. Sedang sekarang ia hidup cacat jiwa dan raga.

"Omong kosong saja hal itu bu Mariam. Begitu kita bekuk para orang-orang gila ini, inilah karma mereka. Mereka harus masuk ke dalam jeruji besi. Bahkan bisa hukuman mati. Toh merek sudah melakukan pembunuhan berencana bukan?" Inspektur Jenar berdiri dan menuju jendela kamar. Ada keresahan dalam raut wajahnya.

"Tidakkah kita selama ini sudah begitu jahat kepada orang-orang di rumah sakit ini inspektur? Berapa banyak orang yang terenggut nyawanya di rumah sakit ini. Semua karena proyek fiktif yang kita buat. Sudah bertahun-tahun bukan?" ada rasa penyeselan. Hukuman di ruang Kesempurnaan itu begitu membekas di jiwa dan raganya. Andai ia mati saja di sana, mungkin penyeselan ini tidak akan menghantuinya seumur hidup.

"Ya saya faham benar apa semua ini. Pelaku ingin menghukum kita. Membuat karma itu nyata di dunia. Tapi ingat bu Mariam. Hanya tuhan yang memberikan hukuman." 

"Betul... betul itu inspektur. Tapi..."

"Sudahlah bu Mariam, kita akan tangkap para pelaku. Ibu pun akan tahu siapa mereka. Inilah karma mereka nantinya." Inspektur Jenar memotong ucapan Mariam. Ia pun segera beranjak meninggalkan ruang. Dalam gelisahnya karena Abah dan W. belum juga tertangkap. Ketakutan dalam hatinya pun menciutkan nyalinya. Ia tahu kedua orang ini bisa saja melakukan hal yang sama dengan Mariam kepadanya.

* * *

Hujan masih deras mengguyur kota. Indah berteduh di emperan ruko di perempatan yang cukup ramai. Lalu lalang orang yang pulang dari kerja sore hujan ini tidak ada yang mengacuhkan Indah yang kedinginan menggigil. Mereka terlalu sibuk mencari transportasi untuk menuju rumah mereka yang hangat. 

Dari pagi tidak ada sebulir nasi yang masuk ke perut Indah. Hanya es teh yang Upil berikan beberapa teguk siang tadi. Upil, panggilan jalanan Feri kawan Indah terdengar lucu. Memang lucu pula Feri. Seorang anak berusia 5 tahun yang cukup kecil. Bukan karena ia cacat, namun badannya saja yang kecil. Sampai akhirnya semua teman-teman pengemis dan pengamen Indah menjulukinya Upil. Feri tidak masalah.

Hujan sudah lumayan reda menjelang pukul 10 malam. Indah beranjak kedinginan menuju rumahnya. Bukan rumah yang besar dan hangat. Hanya gubug yang dilapisi kardus dindingnya. Agar tidak basah, plastik besar sisa penutup spring bed menjadi lapisan luar dinding. Sedang atapnya adalah terpal dan sulaman karung beras. Kerangka rumah terbuat dari bambu bekas renovasi bangunan. Selama rumah ini masih berdiri, Indah cukup senang. Pernah sekali waktu rumahnya roboh.

Di sepanjang jalan, Indah selalu membuka-buka tempat sampah. Entah itu tong sampah di depan minimarket atau rumah makan, ia akan buka. Indah harus makan. Jika tidak ia akan sakit. Karena ia pernah sakit karena tidak makan selama 3 hari. Makanan apapun itu. Basi atau masih utuh dan baru ia akan makan. Roti bekas gigitan orang ia akan makan. Atau daging ayam yang sudah berbau kecut pun ia akan lahap. Walau sakit perut setelah memakannya. Setidaknya ia bisa makan.

Pernah ia sekali menikmati nasi padang yang kebetulan jatuh berhamburan di jalan. Indah segera mengambilnya, walau nasi dan segala lauknya sudah bercampur kerikil jalan. Namun tetap menjadi makan siang yang jarang ia lahap. Kadang ia juga harus berbagi nasi bungkus pemberian orang. Indah lebih senang berbagi dengan Upil daripada teman-teman lain yang rakus. 

Indah tinggal sendiri di gubugnya. Namun bang Makmun biasanya akan berkunjung sebulan sekali. Kadang dua minggu sekali. Itupun datang hanya sekadar mengambil uang hasil Indah mengamen dan mengemis. Bang Makmun selalu bilang semuanya ditabung buat biaya Indah sekolah nanti. Lagi pula bang Makmun sudah memberikan gubugnya ini. Sedang bang Makmun harus juga mengamen dan mengemis di daerah lain di kota ini.

Indah selalu tidak senang jika harus pulang malam ke rumahnya. Ia takut Jun dan kawan-kawannya berbuat jahat padanya. Sering ia ditampar dan ditendang tiba-tiba. Cuma karena Indah lewat di depan mereka yang sedang mabuk. Pernah ia hampir babak belur dipukuli. Namun ada bu Ibah yang menolong, karena kebetulan lewat. 

Ibu Ibah, tetangga gubug sebelah Indah pun merawat Indah beberapa hari. Karena perut dan kepalanya terasa sakit. Beberapa kali ia ditempeleng Jun. Perutnya pun menjadi bahan pijakan ramai-ramai para pemabuk ini. Padahal Indah sudah minta ampun dan jatuh terjerembab. Namun fikiran orang mabuk sepertinya tidak perduli akan hal ini. Dan tidak juga perduli jika Indah masih kecil.

Namun malam ini, Indah tidak berjumpa dengan Jun dan kawan-kawan pemabuknya. Indah bisa tidur tenang di rumahnya. Di sebuah dipan yang dilapisi kardus dan kain rombeng yang sudah berbau apak. Ada sebuah boneka beruang yang sudah lusuh bernama Juminten kesayangan Indah. Adapun bantal kecil yang sudah keras dihiasi beberapa jamur menghitam di kedua sisi. Bantal kesayangan Indah yang selalu memberinya mimpi indah pergi ke sekolah.

Pagi menjelang, Indah harus sudah berangkat ke perempatan malam tadi. Sebelum jam 7, Indah harus sampai di lampu merah untuk kembali mengamen. Karena perempatan akan ramai saat orang berangkat kerja, mengantarkan anak ke sekolah dan pulang kerja bagi pekerja shift malam. Indah biasanya mendapat banyak uang saat ramai seperti ini. Ia pun segera berlari melintasi daerah kumuh yang diisi pengamen dan pengemis sepertinya. Banyak gubug dan bedeng yang berdempetan sesak tepat di samping jembatan besar. Indah berlari melewati gang-gang sempit dan kumuh untuk sampai ke jalan raya.

Baru saja Indah keluar dari gang, ada petugas dinas sosial yang menunggunya. Indah segera dibawa. Percuma juga ia meronta dan menghiba minta dilepaskan. Karena petugas ini tak akan melepasnya. Kata teman-temannya pun, anak-anak yang sudah ditangkap tidak akan kembali lagi ke jalan. Selama ini Indah melarikan diri saat ada razia petugas bersama temannya. Namun tidak pernah tertangkap sendiri seperti saat ini. Apakah Indah akan dipenjara? Hanya fikiran itu yang terfikir saat Indah sudah berada di dalam truk petugas. Ia tidak menangis. Namun penasaran apa yang akan terjadi nanti.

* * *

Wollongong, 04 November 2016

10:12 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun