Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karya Karma Bagian 15

4 November 2016   18:12 Diperbarui: 4 November 2016   18:19 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Darker - foto: Maciej Goraczko

"Sudah mendingan inspektur. Siapa pelakunya Inspektur? Polisi seharusnya sudah tahu siapa yang melakukan ini?" Mariam sesegera bertanya antusias.

"Tenang bu Mariam. Para pelaku sudah diketahui. Pihak kepolisian sedang mengejar mereka saat ini."

"Para...? Berarti lebih dari satu orang? Siapa mereka? Kenapa mereka melakukan ini kepada saya?" dengan kekalutan dan kebingungan Mariam bertanya hal ini. Masih terbersit gambaran gelap di ruang Kesempurnaan itu. Betapa nelangsa Johan mendekati kematiannya. Betapa menderitanya Hendra saat peluru menembus pelipisnya waktu itu.

"Benar bu Mariam ada tiga orang yang sudah kami kenali. Yang satu sudah mati. Sedang dua tersangka lagi masih dalam pelarian."

"Semoga mereka tertangkap. Sungguh nista perbuatan mereka ke saya. Tapi... tapi..." Mariam ragu-ragu mengutarakan hal ini. Ia pun tengok kanan kiri. Mencoba memastikan tidak ada orang yang mendengarkan apa yang ia akan ucapkan ke Inspektur Jenar.

"Tapi apa bu Mariam?" Inspektur Jenar bertanya. Namun terbersit jawaban yang sudah ia duga.

"Semua orang yang ada di ruangan itu dulu adalah rekanan kita." Mariam memandang serius Inspektur Jenar. Karena Mariam tahu pasti ia tahu apa yang sedang ia bicarakan.

"Benar bu Mariam. Mereka semua adalah rekanan kita. Dan sepertinya mereka akan tetap mengincar bu Mariam. Ibu tidak usah khawatir. Ada beberapa polisi berjaga diluar kamar ibu."

"Sudah kuduga. Ini karma kita inspektur. Hal itu yang selalu orangtua dalam ruangan itu bilang. Karma karena perbuatan korup kita selama ini. Saya hampir percaya hal ini inspektur. Tapi polisi berhasil mengeluarkan saya dari ruangan neraka itu." Mariam menghela nafas. Di wajahnya terbayang rasa bersalah. Kenapa ia tidak mati saja. Sedang sekarang ia hidup cacat jiwa dan raga.

"Omong kosong saja hal itu bu Mariam. Begitu kita bekuk para orang-orang gila ini, inilah karma mereka. Mereka harus masuk ke dalam jeruji besi. Bahkan bisa hukuman mati. Toh merek sudah melakukan pembunuhan berencana bukan?" Inspektur Jenar berdiri dan menuju jendela kamar. Ada keresahan dalam raut wajahnya.

"Tidakkah kita selama ini sudah begitu jahat kepada orang-orang di rumah sakit ini inspektur? Berapa banyak orang yang terenggut nyawanya di rumah sakit ini. Semua karena proyek fiktif yang kita buat. Sudah bertahun-tahun bukan?" ada rasa penyeselan. Hukuman di ruang Kesempurnaan itu begitu membekas di jiwa dan raganya. Andai ia mati saja di sana, mungkin penyeselan ini tidak akan menghantuinya seumur hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun