"Ya saya faham benar apa semua ini. Pelaku ingin menghukum kita. Membuat karma itu nyata di dunia. Tapi ingat bu Mariam. Hanya tuhan yang memberikan hukuman."Â
"Betul... betul itu inspektur. Tapi..."
"Sudahlah bu Mariam, kita akan tangkap para pelaku. Ibu pun akan tahu siapa mereka. Inilah karma mereka nantinya." Inspektur Jenar memotong ucapan Mariam. Ia pun segera beranjak meninggalkan ruang. Dalam gelisahnya karena Abah dan W. belum juga tertangkap. Ketakutan dalam hatinya pun menciutkan nyalinya. Ia tahu kedua orang ini bisa saja melakukan hal yang sama dengan Mariam kepadanya.
* * *
Hujan masih deras mengguyur kota. Indah berteduh di emperan ruko di perempatan yang cukup ramai. Lalu lalang orang yang pulang dari kerja sore hujan ini tidak ada yang mengacuhkan Indah yang kedinginan menggigil. Mereka terlalu sibuk mencari transportasi untuk menuju rumah mereka yang hangat.Â
Dari pagi tidak ada sebulir nasi yang masuk ke perut Indah. Hanya es teh yang Upil berikan beberapa teguk siang tadi. Upil, panggilan jalanan Feri kawan Indah terdengar lucu. Memang lucu pula Feri. Seorang anak berusia 5 tahun yang cukup kecil. Bukan karena ia cacat, namun badannya saja yang kecil. Sampai akhirnya semua teman-teman pengemis dan pengamen Indah menjulukinya Upil. Feri tidak masalah.
Hujan sudah lumayan reda menjelang pukul 10 malam. Indah beranjak kedinginan menuju rumahnya. Bukan rumah yang besar dan hangat. Hanya gubug yang dilapisi kardus dindingnya. Agar tidak basah, plastik besar sisa penutup spring bed menjadi lapisan luar dinding. Sedang atapnya adalah terpal dan sulaman karung beras. Kerangka rumah terbuat dari bambu bekas renovasi bangunan. Selama rumah ini masih berdiri, Indah cukup senang. Pernah sekali waktu rumahnya roboh.
Di sepanjang jalan, Indah selalu membuka-buka tempat sampah. Entah itu tong sampah di depan minimarket atau rumah makan, ia akan buka. Indah harus makan. Jika tidak ia akan sakit. Karena ia pernah sakit karena tidak makan selama 3 hari. Makanan apapun itu. Basi atau masih utuh dan baru ia akan makan. Roti bekas gigitan orang ia akan makan. Atau daging ayam yang sudah berbau kecut pun ia akan lahap. Walau sakit perut setelah memakannya. Setidaknya ia bisa makan.
Pernah ia sekali menikmati nasi padang yang kebetulan jatuh berhamburan di jalan. Indah segera mengambilnya, walau nasi dan segala lauknya sudah bercampur kerikil jalan. Namun tetap menjadi makan siang yang jarang ia lahap. Kadang ia juga harus berbagi nasi bungkus pemberian orang. Indah lebih senang berbagi dengan Upil daripada teman-teman lain yang rakus.Â
Indah tinggal sendiri di gubugnya. Namun bang Makmun biasanya akan berkunjung sebulan sekali. Kadang dua minggu sekali. Itupun datang hanya sekadar mengambil uang hasil Indah mengamen dan mengemis. Bang Makmun selalu bilang semuanya ditabung buat biaya Indah sekolah nanti. Lagi pula bang Makmun sudah memberikan gubugnya ini. Sedang bang Makmun harus juga mengamen dan mengemis di daerah lain di kota ini.
Indah selalu tidak senang jika harus pulang malam ke rumahnya. Ia takut Jun dan kawan-kawannya berbuat jahat padanya. Sering ia ditampar dan ditendang tiba-tiba. Cuma karena Indah lewat di depan mereka yang sedang mabuk. Pernah ia hampir babak belur dipukuli. Namun ada bu Ibah yang menolong, karena kebetulan lewat.Â