Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karya Karma Bagian 10

19 Oktober 2016   19:41 Diperbarui: 20 Oktober 2016   19:26 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dark Passenger - foto: Maciej Goraczko

Disclaimer:

Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)

"Tuan muda tahu siapa tuan Fahri bukan? Jangan berbohong kalau tuan muda tidak tahu? Bukan begitu tuan Niko?" Abah menyebut namanya. Karena W. segera mencari identitasnya di dompetnya. Dan W. baru tahu juga kalau ia adalah anggota kepolisian.

Abah melihat jauh ke dalam mata Niko. Abah tahu ia tahu semua tentang Fahri. Di tatapan Niko yang takut dan jijik, ada sesuatu yang membuat Niko kembali menatap Abah. Abah tersenyum menatap Niko. (Bagian 9)

* * *

"Ahh...maaf!" Mariam spontan berucap. Kopinya tumpah membasahi blouse W.

"Tidak apa-apa." Sambil menatap Mariam, W. mengibas-ibas blousenya yang terkena kopi yang cukup panas di kulitnya.

"Maaf mba... Mba tidak apa-apa?" Mariam kebingungan dan mencoba mengelap blouse W. yang terkena kopinya yang panas.

"Tidak apa-apa mba?" nada W. bertanya.

"Mariam. Saya Mariam." sembari mengulurkan tangan untuk berjabat.

"Saya W. Biar saya ganti kopinya yang tumpah mba Mariam?"

"Tidak.. tidak usah mba W. Saya bisa beli lagi. Mari saya belikan sesuatu mba W. Biar menebus kesalahan bodoh saya ini?"

"Tidak usah repot-repot mba. Saya baik-baik saja." W. menolak namun masih melihat tajam ke arah Mariam.

"Tidak apa-apa mba. Beneran saya tidak enak sudah mengotori blouse mba W. Mungkin juga agak panas di perut mba. Di dekat sini saja. Kita makan." Mariam memaksa.

"Baiklah mba." W. menerima tawaran Mariam. Segera mereka menuju rumah makan yang cukup mahal di mall kota ini. Rumah makan yang menjual berbagai makanan import. W. hanya turut saja apa kata Mariam. Karena itulah yang W. inginkan.

Mereka pun banyak bercakap-cakap. Dari mulai nama sampai pekerjaan. Mariam adalah seorang pengusaha. Walau usianya hanya terpaut 5 tahun dengan W., Mariam kelihatan lebih muda. W. faham benar hal ini. karena Mariam lebih berduit daripada W. yang hanya polisi. Dan kebetulan mereka berdua pun berasal dari daerah yang sama. Tepat di satu distrik kecil yang berada di luar kota. Mungkin hanya 3 jam berkendara menuju ke utara.

Dari hari ke hari W. dan Mariam sudah intens berkomunikasi. Layaknya seorang perempuan yang saling bisa berbagi perasaan. Mariam pun mencurahkan isi hatinya kepada W. Mariam adalah seorang perawan yang sudah terlalu senja untuk menikah. Hidupnya yang sudah kian kaya membuat para lelaki sungkan mendekat. Ia memiliki sebuah CV yang cukup besar. Perusahaannya banyak mengelola rumah sakit kota dan rumah sakit kecil di seputaran kota. Dialah supplier utama semua alat medis dan infrastruktur rumah sakit ini. Namun Mariam masih kesepian dalam hidupnya yang bergelimang harta.

W. tahu benar darimana harta Mariam datang. Cerita yang Abah sering ceritakan sejak W. kecil. Dan sejak masuk dalam keanggotan polisi, banyak fakta busuk yang W. temukan soal Mariam. Dan ia tahu betul Abah sangat sakit hati kepada Mariam. Karena ulah laknatnyalah ibu dan calon kakaknya dulu direnggut dalam gelap. Dalam sebuah kesalahan manusia busuk dengan sistemnya yang kian rusak, W. menunggu dan mengatur saat-saat bertemu dan dekat dengan Mariam. Karena karya karma Abah yang perempuan hanyalah Mariam.

Sudah mempelajari gerak-gerik Mariam selama ini, W. meminta Niko membawanya ke Abah malam itu. Menjadi karya Abah seutuhnya.

* * * 

"Classshhhh...!!" W. mengayunkan parangnya ke badan babi yang semena-mena digantung. Kepalanya sudah terpotong. Darah segar masih mengucur deras membasahi rumput halaman belakang. Darah bekas pemenggalan kepala masih tergenang di sekitar lubang dekat babi yang digantung. Darahnya mulai menghitam mengental bak agar-agar. Ada seonggok sisa dedak yang sang babi kunyah keluar bersama simbah darah saat leher babi terpotong. Dedaknya masih utuh berwarna coklat. Namun lendir liur kental dan darah berbaur bak bubur dedak yang siap disantap babi lain. Andai saja babi yang lain masih hidup, mungkin mereka segera berpesta diatas kematian dan darah sahabatnya. Persis seperti para koruptor yang bernyanyi dan bermewah-mewah diatas kematian ibu dan calon kaka W.

"Buuk!" parang W. bertemu tulang belakang babi. Karena babi tanpa kepala ini akan terus berputar saat W. mencabik-cabiknya dengan parang. Dan mengenai tulang balakang membuat parang W. membal. 

'Sial!' W. mengumpat dalam hati sambil mengambil nafas kelelahan. 

"Sudahlah nak, babi itu sudah cukup menderita." Abah tiba-tiba muncul di belakang W. 

Abah mendekati babi tanpa kepala yang tergantung. Mennyentuh luka sabetan parang W. Membuka luka sabetan di bada babi dengan penasaran. Abah memasukkan jari telunjuknya ke dalam luka tadi. Mengukur berapa dalam. Lalu mengeluarkan jari telunjuknya yang bernoda darah. Mencium darah babi di telunjuknya. Mengamati dengan seksama dan menatap W.

"Sudah semakin dalam kamu menyabetkan parangmu nak. Betapa dalam luka yang sudah kamu buat? Andai sabetan parangmu mengenai tubuh seorang manusia, ia akan sangat kesakitan. Sakitnya bukan main. Sampai otak mereka tidak bisa merasakan sakit di detik tubuh tersabet parang nak. Otak manusia tidak bisa mengirim sinyal yang begitu rumit ke dalam indera perasa. Kamu tahu kenapa?"

"Tidak tahu. Abah bisa jelaskan?" W. menaruh parang dan segera mendudukkan diri di rumput halaman balakang.

"Karena ada rasa takut yang begitu meneror mereka. Mata mereka melihat sabetan itu mengenai tubuh. Rasa takut mendorong adrenalin naik ke dalam otak. Ketakutan yang sangat membuyarkan rasa sakit yang dikirim ke otak. Teror yang begitu nyata mereka rasakan di detik-detik awal membunuh rasa sakit. Tubuh memiliki bius alami untuk rasa sakit. Rasa takut yang kian sangat adalah bius. Tubuh akan merasa sakit tepat saat orang tadi melihat lukanya. Melihat darah yang mengucur keluar. Sakit itu akan menjadi karena rasa takut atas teror sudah hilang. Otak akan berkata sakit tepat saat orang tadi lihat ke arah lukanya."

"Jadi teror membunuh rasa sakit? Begitukah Abah?"

"Benar. Dan itulah yang terjadi dengan fikiran seorang yang serakah seperti koruptor. Awalnya mereka takut tertangkap mencuri, mengurangi, menambah apa yang seharusnya bukan milik mereka. Pada awalnya ada rasa sakit di dalam nurani mereka. Namun karena teror akan kebutuhan yang kian banyak saat uang semakin berlimpah. Teror untuk terus merasa kekurangan. Teror karena tidak kebagian uang yang begitu melimpah, telah membunuh rasa sakit ke nurani mereka. Mereka sudah mati rasa merasakan sakitnya nurani berbuat busuk. mereka begitu takut jika keserakahan mereka tidak terpuaskan, mereka akan serba kekurangan. Akal dan tangan mereka yang busuk terus mencabik nurani mereka sendiri." Abah berhenti sesaat, menatap ke rumput halaman.

"Dan korbannya adalah orang-orang seperti kita. Ibumu dan calon kakakmu mati karena teror keserakahan orang-orang seperti Mariam, Fahri, Hendra dan Johan. Merekalah yang merenggut nyawa orang-orang tidak bersalah lain. Apa yang mereka ambil bukan hanya uang. Tapi nyawa. Bukan saja nyawa ibu dan kakakmu nak. Tapi banyak orang. Orang-orang busuk seperti merekalah yang harusnya mendapat karma atas teror yang mereka buat."

"Mereka memang pantas mendapatkan karma." W. tegas menjawab.

"Kita sadarkan mereka untuk melihat luka mereka sendiri pada nurani mereka. Biar mereka melihat, merasa dan menjadi sakit yang selama ini teror keserakahan tutupi. Abah tahu rasa sakit yang mereka rasa nanti hanya belaka. Rasa sakit yang telah mereka buat begitu banyak. Bahkan nyawa-nyawa orang tidak bersalah telah mereka cabut. Kita yang harus mengakhiri teror atas nurani mereka. Kita yang akan membuka rasa sakit itu nak."

W. segera beranjak melangkah mendekati babi yang tergantung. W. segera membaui tubuh babi yang berlumur darah. Menyentuh darah yang mengalir lembut membasuh badan babi yang kemerahjambuan. Sayatan dan tebasan W. begitu meluka tubuh babi. Begitu banyak darah yang bersimbah. W. lalu melumuri kedua tangannya dengan darah yang memandikan tubuh babi tanpa kepala tadi. Dengan kedua tangan W. yang berlumur darah segar babi, ia segera melumuri wajahnya. Perlahan dan menjiwai, W. seolah merias wajahnya. Namun ini dengan darah.

'W. benar-benar bisa menjiwai menjadi seorang penimpa karma. Hebat!' Abah bergumam dalam hatinya. Sambil menatap bangga W. yang kini mengeramasi rambutnya dengan darah babi yang menetes dari lehernya yang terpenggal.

* * * 

Bersambung

Wollongong, 19 Oktober 2016

11:41 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun