Mariam bersandar di pintu. Hidungnya segera menghirup segala udara segar dari panel pintu. Ada harapan memuncak di hati Mariam. Ada kesenduan hati yang membayang di hatinya. Ada rasa syukur yang dalam terbersit di nurani Mariam. Ia akan terus melanjutkan hidupnya.
* * *
"Abah sedang apa?" tanya W. yang baru saja pulang sekolah sore itu. Sekolah SMA W. agak jauh dari rumahnya. Sekolahnya berada di kota. Sekitar 1 jam perjalanan dengan bus. Namun W. perempuan yang kuat.
"Sedang memotong-motong babi ini nih." sambil menunjukkan W. belahan kepala babi utuh. Darah segar masih menetes membasahi meja di dapur.
"Wah, besar juga babinya Abah? Badannya dimana?" bukannya takut, W. malah bertanya soal badannya.Â
"Badannya masih ada di belakang rumah W.. Nanti Abah akan belah-belah, atau amputasi persisnya." Abah tersenyum simpul sambil mulai menyayat kepala babi sampai ke hidungnya.
"W. boleh mencoba?" W. malah semakin penasaran apa yang dikerjakan Abah.Â
"Ganti baju dulu. Nanti kalau seragammu kena darah babi bagaimana?"
"Oya... W. lupa.." W. segera beranjak pergi ke kamarnya di lantai dua. Rumah Abah cukup besar jika ditinggali dua orang saja. Hampir di setiap sudut terdapat foto Abah beserta almarhumah istrinya. Beberapa gantungan kepala rusa sampai singa terpapar jelas di ruang tamu. Kepala hewan buruan Abah saat tidak bertugas seusai perang dulu. Kepala hewan yang tatapannya menyiratkan kesakitan yang disamarkan dengan keindahan mata yang dibuat terbuka.Â
Badan babi yang masih tergolek lemah tak bernyawa di taman belakang rumah menjadi saksi karya dan dendam Abah. Sudah kali ke tiga dalam dua bulan ini Abah berlatih menyembelih, menyayat, memotong, menggorok, memutilasi dan mengamputasi. Saat ini hal-hal ini menjadi karya seni buat Abah. Bagaimana sebuah karya bisa diciptakan dari bagian-bagian tubuh. Bahkan dari babi. Bagaimana dengan manusia?
Sebuah karya hal yang coba ia lakukan nanti. Suatu saat dimana dendamnya adalah pelengkap karma orang-orang busuk yang mencabut nyawa istri dan anaknya dulu.