Disclaimer:
Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)
"Perginya tidak jauh. Dekat sekali. Kakakmu sering lihat kamu kok. Wardah saja tidak tahu. Jadi, biar kakakmu senang belikan gulali arum manisnya dua ya?" pinta si bapak sambil menyerahkan uang 5 ribu.
"Mmm... baiklah kalau begitu. Nanti Abah ceritakan ya kemana kakak pergi?" Wardah menurut dan sigap berlari kembali ke tukang gulali arum manis diluar.
"Baiklah nak."
'Anakku yang satu ini memang cerdas. Kamulah kakakmu. Kamulah Wardah anakku. Kelak ia akan memberi karma atas apa yang orang-orang picik lakukan kepada ibumu. Kakakmu akan selalu berada dekatmu. Ia melindungimu. Ibumu pun juga begitu. Percayalah nak.' si bapak yang kini minta dipanggil Abah itu bergumam dalam hati. Memandangi penuh takjub Wardah anaknya. (Bagian 7)
* * *
"Braaak...!!!" tiba-tiba suara keras terdengar dari belakang mobil W. Mobil yang berda di belakang mobil W. ditabrak sebuah mobil. Kedua orang tadi berhamburan terpelanting ke arah depan. Tertelungkup, sepertinya mereka pingsan.Â
Sedang dua orang yang tadi berada di sekitar mobil W. segera menembaki mobil yang menabrak. W. segera mengambil ancang-ancang untuk keluar dari pintu mobilnya sebelah kiri.Â
"Door! Door!" W. menembak dua orang yang menembaki mobil yang menabrak mobil kawannya. Satu orang tertembus peluru W. tepat di jantungnya. Ia jatuh tertelungkup, darah mengalir membasahi tanah. Orang yang satu lagi tiba-tiba melarikan diri begitu tahu kawannya tertembak.
W. segera melihat dua orang yang tertelungkup pingsan. Nafas mereka masih memburu. W. tidak ingin membunuh mereka. W. coba tanya suruhan siapa mereka. Karena W. tidak pernah melihat orang-orang ini di kesatuan. Jelas mereka adalah pembunuh bayaran. Tidak mungkin orang sipil bisa memilki pistol seperti yang ia punya.
Heran dan penasaran, W. segera melihat siapa yang menabrakkan mobilnya ke mobil orang-orang ini.Â
'Ah, ini mobil Niko.. Abah! Jangan-jangan ini Abah??' W. segera berlari melihat keadaan Abah di dalam mobil.Â
Benar saja, Abah terduduk pingsan di depan kemudi. Dahinya berdarah. Sepertinya akibat menghantam kemudi. W. segera membaw Abah di sampingnya. Walu Aah berbadan besar, W. sekuat tenaga menatihnya. Karena ia tahu sebentar lagi polisi akan segera tiba. Dan sepertinya jika Abah berada disini, akan lebih mudah mereka ditangkap.Â
W. segera memacu mobilnya secepat mungkin. Di kejauhan suara sirene mobil polisi sudah meraung-raung. W. segera mengarahkan mobilnya menuju ke gubuk di atas bukit di ujung kota ini. Ia tahu disana aman. Setidaknya untuk sementara.
'Sepertinya ada pihak yang ingin membunuhnya. Dan mereka sudah tahu soal kasus Mariam yang ia tangani. Dan mereka ingin W. mati. Itu hal yang pasti. Dan bertemu dengan inspektur Jenar sepertinya bukan jalan keluar. Ia tahu polisi kota sudah rusak sistemnya. Bangsat!' W. mengumpat dalam hati.
'Semoga Abah baik-baik saja...' gemuruh batin W. berkata. Sekaligus ia berterima kasih sudah diselamatkan Abah. Ia pun bertanya, kenapa Abah bisa tahu ia sedang dalam kesulitan?
* * *Â
'Selamat tinggal rasa sakit. Selamat tinggal dunia. Sepertinya aku baru tahu kalau aku merasa sempurna disini. Merasa kematian melengkapi aku hudp. Tanpa ada ujung kematian. Aku mungkin tidak mungkin merasakan hidup. Mati membusuk. Busuk karena perbuatanku. da aku tahu....' sambil tertunduk Mariam merenung dalam gelap. Ujung postol sudah menempel di pelipis kiri. Dengan hanya tangan kiri yang kepayahan, ia berusaha menarik pelatuk.
Di ujung hidung, Mariam mencium bau bangkai dan darah bercampur begitu akut. Perutnya sudah tidak terasa muak. Karena perutnya sudah memuakkan. Rasa sakit akibat operasi aneh Abah membuat kebas. Tidak ada lagi yang ia rasakan dalam perutnya. Bahkan lidahnya sudah mati rasa akibat demam. Sakit tangan kanannya yang diamputasi Abah pun tidak lagi dirasa. Segala yang menjijikkan dan menyakitkan sudah Mariam rasakan di ruang Kesempurnaan ini. Sampai akhir waktu ia ingin mengakhiri ini semua.
"Halo...Ada orang di dalam?" seseorang bertanya di luar pintu. Sambil mengetuk-ngetuk, membuat Mariam teralihkan fokus. Keinginan bunuh diri hilang seketika. Karena ia tahu itu bukan suara orang itu.
"Sraak!!' panel pintu ruang Kesempurnaan dibuka dan Mariam segera berteriak sekuat suara.
"Toooloongg...!!!"Â
"Apa ibu baik-baik saja?" orang diluar segera bertanya. Beberapa polisi juga berada disana. Mereka segera menutup hidung mereka yang tertusuk bau bangkai yang sangat.
"Tolong keluarkan saya... Tolong!!" Mariam tidak menjawab. Pistol yang ia pegang segera ia lempar. Mariam menyeret badannya mendekati panel pintu.
"Baik bu, kami usahakan Anda keluar!" ujar orang diluar pintu yang sepertinya juga seorang polisi menyamar.
"Cepat!! Tolong saya!" Mariam berkata sambil lirih menangis.
Beberapa orang diluar sibuk mencari kunci di meja di depan pintu ruang Kesempurnaan. Nampaknya tidak ada kunci yang bisa membukanya. Mendobraknya pun tidak mungkin. Karena pintunya terbuat dari baja.
"Cepat kamu panggil PMK kesini. Mereka punya alat pemotong baja." perintah orang yang membuka panel.
"Baik pak.!" beberapa orang segera menjawab.
"Nama ibu siapa?"
"Saya Mariam pak." ia menjawab lirih.
"Ibu sabar di dalam sana. Kami sedang berusaha membuka ruang ini." Suara beberapa orang berdatangan. Dengan HT mereka sedang berkomunikasi dengan seseorang di markas polisi.
Mariam bersandar di pintu. Hidungnya segera menghirup segala udara segar dari panel pintu. Ada harapan memuncak di hati Mariam. Ada kesenduan hati yang membayang di hatinya. Ada rasa syukur yang dalam terbersit di nurani Mariam. Ia akan terus melanjutkan hidupnya.
* * *
"Abah sedang apa?" tanya W. yang baru saja pulang sekolah sore itu. Sekolah SMA W. agak jauh dari rumahnya. Sekolahnya berada di kota. Sekitar 1 jam perjalanan dengan bus. Namun W. perempuan yang kuat.
"Sedang memotong-motong babi ini nih." sambil menunjukkan W. belahan kepala babi utuh. Darah segar masih menetes membasahi meja di dapur.
"Wah, besar juga babinya Abah? Badannya dimana?" bukannya takut, W. malah bertanya soal badannya.Â
"Badannya masih ada di belakang rumah W.. Nanti Abah akan belah-belah, atau amputasi persisnya." Abah tersenyum simpul sambil mulai menyayat kepala babi sampai ke hidungnya.
"W. boleh mencoba?" W. malah semakin penasaran apa yang dikerjakan Abah.Â
"Ganti baju dulu. Nanti kalau seragammu kena darah babi bagaimana?"
"Oya... W. lupa.." W. segera beranjak pergi ke kamarnya di lantai dua. Rumah Abah cukup besar jika ditinggali dua orang saja. Hampir di setiap sudut terdapat foto Abah beserta almarhumah istrinya. Beberapa gantungan kepala rusa sampai singa terpapar jelas di ruang tamu. Kepala hewan buruan Abah saat tidak bertugas seusai perang dulu. Kepala hewan yang tatapannya menyiratkan kesakitan yang disamarkan dengan keindahan mata yang dibuat terbuka.Â
Badan babi yang masih tergolek lemah tak bernyawa di taman belakang rumah menjadi saksi karya dan dendam Abah. Sudah kali ke tiga dalam dua bulan ini Abah berlatih menyembelih, menyayat, memotong, menggorok, memutilasi dan mengamputasi. Saat ini hal-hal ini menjadi karya seni buat Abah. Bagaimana sebuah karya bisa diciptakan dari bagian-bagian tubuh. Bahkan dari babi. Bagaimana dengan manusia?
Sebuah karya hal yang coba ia lakukan nanti. Suatu saat dimana dendamnya adalah pelengkap karma orang-orang busuk yang mencabut nyawa istri dan anaknya dulu.
* * *
Bersambung
Wollongong, 10 Oktober 2016
10:26 pmÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H