"Nah Nona Mariam, semoga kamu sudah merasa lapar lagi. Nanti saya sediakan lagi nasi ikan goreng." sambil tersenyum Abah merogoh jarum dan benang hecting di kantongnya. Sebisanya, ia tutup jahit lambung Mariam. Lalu usus yang ikut terburai ia masukkan kembali ke perut. Setidaknya. Sebisanya.
Jahitan di perut Mariam begitu sembarang, namun Abah begitu menghayatinya. Senyum Abah tersirat tiap kali jarum menutup sayatan yang ia buat.Â
"Setidaknya Nona Mariam tidak menghabiskan banyak benang. Tidak seperti Fahri si pejabat gendut rekan Nona itu." Abah tersenyum dan membiarkan Mariam tergolek tak berdaya di ruang Kesempurnaan.
"Oya sebelum pergi, saya perlu sampaikan satu hal Nona Mariam. Sebentar lagi Johan rekan Nona akan 'mampir' mengunjungi Nona. Putri saya akan mengantarnya ke sini." Segera Abah menutup pintu ruangan Kesmpurnaan. Gelap kembali membekap Mariam.Â
Dalam tidur biusnya, Mariam merasakan sakitnya. Ia rasa semua sakit. Namun ia mati dalam bius. Dalam kesenyapan sakit yang begitu riuh.
'Perutku...perutnku. Sakit sekali. Kenapa? Kenapa??!' Mariam berteriak dalam kesakitan yang sangat di gelap alam yang terbius.
* * *
Bersambung
09:46 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H