“Grrrrkkk…grrkkk” suara bone saw memotong sendi sudah serupa music buat Abah. Sedikit demi sedikit, tiap mili sendi Mariam mendekati putus. Abah sangat puas melihat karyanya sempurna dari waktu ke waktu.
“Hai Nona Mariam. Andai Nona bisa merasakan sakit saat saya potong tanganmu. Belum seberapa dari apa yang kamu perbuat pada kami. Kamu hanya satu dari karya saya. Karya yang hanya saya ciptakan dari karma yang kamu akan kamu rasakan.”
Tangan Mariam sudah lepas dari sikutnya. Seperti seonggok daging segar dari hasil jagal yang baru saja dipotong, Abah menaruh lengan kanan Mariam yang terpotong di dalam sebuah kardus.
Walau berlumur darah, segera Abah sulam sikut Mariam. Cara menjahit kulit yang sudah ia latih selama 2 tahun lamanya. Sebisanya, namun rapih. Benang hecting yang ia beli di apotik memang sudah habis. Karena Tuan Fahri ternyata perutnya besar. Menutupnya menghabiskan banyak benang. Abah tersenyum mengingat karyanya pada Tuan Fahri.
Selesai menjahit sikut Mariam agar pendarahan berhenti. Abah memasukkan Mariam ke ruangan Kesempurnaan. Abah sangat suka ruangan ini. Abah merasa ruang ini alam kubur. Abahlah malaikatnya. Selalu menampakkan diri di panel pintu kecil, Abah selalu meyakinkan orang di ruangan ini mengikuti rasa takutnya. Ada beberapa orang yang berhasil memahaminya. Entah untuk Mariam ini nanti.
“Nona Mariam tunggu disini sampai hari Penghakiman itu tiba. Nona tidak usah takut akan rasa takut. Ikuti saja rasa takut itu hendak kemana. Karena penghakiman itu benar-benar nyata Nona. Percayalah!” Abah berbisik sebelum meninggalkan Mariam di dalam ruangan.
“Braak!!” pintu segera ditutup.
* * *
Bersambung
Wollongong, 24 September 2016