Disclaimer:
Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)
* * *
Mariam terbangun dan terdiam di sudut gelap. Entah ruang apa ini fikirnya. Pengap dan bau apak menyeruak. Samar tercium bau anyir. Seiring anyir menghinggap, Mariam merasakan perih di tangan kanannya.
Mariam coba garuk tangan kanannya. Yang ia gapai hanya udara. Ada hampa disana. Namun Mariam merasa tangan kanannya perih. Ya tuhan! Apa yang terjadi fikirnya menyematkan ketakutan. Tangan kanannya hilang. Teramputasi!
Ia rasakan tangan kanannya terhenti tepat di sikut. Disana ia rasakan sakit yang sangat. Ada jahitan dan cairan hangat entah apa itu. Namun ia tahu pasti tangannya sudah teramputasi.
Nanar takut wajah Mariam terlihat. Hatinya berdegup cepat. Ketakutan, kebingungan dan keputusasaan menikam tiap detak jantungnya. Apa yang terjadi!? Fikirnya.
“Tolooong…” Mariam berteriak sekuatnya. Namun ruang gelap itu seperti memantulkan teriaknya kembali ke telinga. Percuma fikirnya.
Mariam mencoba meraba-raba tembok sekeliling ruang.
“Sraaatttt…!!” tiba-tiba ada sebuah panel terbuka. Tepat di depan Mariam. Ada cahaya disana. Namun segera tertutupi oleh sesuatu.
“Sudah bangun hai Nona Mariam. Selamat pagi.” Halus sosok itu menyapa.
“Mau apa kau?? Apa yang kau lakukan padaku?? Dimana ini?? Keluarkan aku?” ibarat katarsis, orang itu itu adalah tembok ratapan. Segala rasa yang detak jantungnya rasakan ia muntahkan.
“Tenang saja Nona Mariam. Nona ada di tempat yang sesuai. Tempat dimana kejahatan Nona adalah karma yang begitu nyata. Nona cukup rasakan saja. Untuk keluar dari sini, Nona cukup ikuti saja rasa takut Nona. Percayalah!” sosok tadi menjelaskan.
Entah apa yang ia maksud. Mariam segera mendekat panel sempit tadi. Namun sosok tadi segera menutupnya.
“Hei kau bajingan!! Buka. Keluarkan aku dari sini!!” dalam kepayahan tangan kirinya, Mariam meraba ada gagang pintu disitu. Ia coba buka berkali-kali. Namun nihil. Pintu ini dikunci.
Dan merasa dibiarkan mati pun menggantikan rasa takut di hati Mariam.
* * *
“Untuk laporan keuangan ke C.V Antar Nusa Harmoni sudah dikirim pak Jo?”
“Tenang bu Mariam. Baru saja sudah saya ‘cek dan ricek’ kembali” Johan menjawab pasti.
“Harus benar itu pak Jo. Setidaknya kalau BPK atau PPATK periksa nanti tidak ada dugaan macam-macam?” Mariam memastikan.
“Sudah bu. Saya sudah konsultasikan dengan unit keuangan, mba Indri. Kemarin juga sempat sowan saya ke pak Ha, orang atas sana.” Johan memberi kode Ha agar Mariam tenang.
“Baiklah pak Jo. Saya percaya bapak. Karena sudah beberapa hari ini saya merasa diikuti setiap pulang kerja. Entah siapa. Tapi saya merasa diikuti. Saya hanya khawatir mereka orang-orang hukum.”
“Apa ibu butuh body guard? Bisa saya sediakan?”
“Tidak usah pak Jo. Selama belum mengancam, saya akan baik-baik saja. Sudah malam pak Jo, saya harus segera kembali pulang. Tolong besok pak Jo konfirmasi pak Ha soal laporan tadi.”
“Baik bu.” Johan segera pergi dari ruang Mariam.
Keluar dari kantor, waktu sudah pukul 10 malam. Kantor sudah begitu sepi, apalagi di lantai 5 ini. Mariam segera menuju lokasi parkir mobilnya.
Ada yang mengikutinya. Mariam yakin itu. Ada suara langkah kaki di belakangnya. Ia tidak berani menengok ke belakang. Yang ia tahu ia cepatkan langkah ke mobilnya. Setidaknya di dalam mobil ia akan aman. Fikirnya.
“Buukkk!!” tiba-tiba ada sosok membekapnya. Bukan dari belakang. Tapi dari depan.
Mariam merasakan badannya rubuh dan ditindihnya. Ada sapu tangan menutup hidung dan mulutnya. mariam coba berteriak. Tapi percuma. Ia merasa lemas dan pandangannya mulai kabur.
* * *
She’s a pretty woman, looking for the he-man
She’s gonna throw him anger
Gonna be a heart breaker…
Lantunan lagu Trouble Maker dari Superkid mengisi penuh ruang terang itu. Serupa ruang parkir mobil. Tapi entah mengapa ada peralatan bedah di sana sini. Bau anyir darah menyerbak memenuhi ruangan.
Sembari bernyanyi lagu Trouble Maker lirih sendiri, Abah berdiri di samping tubuh Mariam. Mariam dibaringkan di meja. Sedang darah terus menetes dari meja. Di bawah meja sengaja disiapkan plastik hitam besar. Sepertinya agar darah tidak langsung menetes terkena lantai. Ya, darah Mariam.
Mariam terkulai tak berdaya. Abah sibuk mengiris dan memotong tiap daging yang masih saling menyatu di sikut Mariam. Ia iris pelan layaknya seorang jagal memisahkan kulit kambing dari dagingnya.
Dengan pisau seadanya, memotong sendi menjadi sulit. Abah meanjutkannya dengan memakai gergaji. Bone saw, Abah beli dari took online 2 tahun lalu. Dulu bone saw ini panjang. Karena sering patah saa memotong tulang, ia sambung dengan pegangan gergaji kayu biasa.
“Grrrrkkk…grrkkk” suara bone saw memotong sendi sudah serupa music buat Abah. Sedikit demi sedikit, tiap mili sendi Mariam mendekati putus. Abah sangat puas melihat karyanya sempurna dari waktu ke waktu.
“Hai Nona Mariam. Andai Nona bisa merasakan sakit saat saya potong tanganmu. Belum seberapa dari apa yang kamu perbuat pada kami. Kamu hanya satu dari karya saya. Karya yang hanya saya ciptakan dari karma yang kamu akan kamu rasakan.”
Tangan Mariam sudah lepas dari sikutnya. Seperti seonggok daging segar dari hasil jagal yang baru saja dipotong, Abah menaruh lengan kanan Mariam yang terpotong di dalam sebuah kardus.
Walau berlumur darah, segera Abah sulam sikut Mariam. Cara menjahit kulit yang sudah ia latih selama 2 tahun lamanya. Sebisanya, namun rapih. Benang hecting yang ia beli di apotik memang sudah habis. Karena Tuan Fahri ternyata perutnya besar. Menutupnya menghabiskan banyak benang. Abah tersenyum mengingat karyanya pada Tuan Fahri.
Selesai menjahit sikut Mariam agar pendarahan berhenti. Abah memasukkan Mariam ke ruangan Kesempurnaan. Abah sangat suka ruangan ini. Abah merasa ruang ini alam kubur. Abahlah malaikatnya. Selalu menampakkan diri di panel pintu kecil, Abah selalu meyakinkan orang di ruangan ini mengikuti rasa takutnya. Ada beberapa orang yang berhasil memahaminya. Entah untuk Mariam ini nanti.
“Nona Mariam tunggu disini sampai hari Penghakiman itu tiba. Nona tidak usah takut akan rasa takut. Ikuti saja rasa takut itu hendak kemana. Karena penghakiman itu benar-benar nyata Nona. Percayalah!” Abah berbisik sebelum meninggalkan Mariam di dalam ruangan.
“Braak!!” pintu segera ditutup.
* * *
Bersambung
Wollongong, 24 September 2016
12: 35 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H