Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Google Glass: Mimpi Mirip Bejita & Bahayanya

6 Januari 2014   14:42 Diperbarui: 21 Mei 2019   14:27 2204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan selama beberapa waktu, beberapa penjajal Google Glas ada yang sebenarnya mengeluh tentang Google Glass yang telah mereka gunakan. Setelah menjajal Google Glass selama delapan bulan, baik Robert Scoble seorang blogger dari US dan Mat Honan dari situs Wired mengatakan hidup menggunakan alat ini sangatlah ribet. 

Scoble bahkan sempat bilang dengan agak keras, bahwa Google Glass "tamat riwatnya!." (berita: gizmodo.com) 

Dalam reviewnya, Mat Honan bahkan memberi sebutan Google Glass, 'Glasshole' (plesetan dari asshole). Karena saat memakainya, secara sosial Mat merasa tidak nyaman dan aneh. 

Menurut Mat ia kecewa dan menuliskan  "Wearing Glass separates you. It sets you apart from everyone else. It says you not only had $1,500 to plunk down to be part of the "explorer" program, but that Google deemed you special enough to warrant inclusion (not everyone who wanted Glass got it; you had to be selected). Glass is a class divide on your face." 

Menggunakan (Google) Glass mengucilkan dirimu. Alat ini memisahkan dirimu dari orang lain. Alat ini tidak hanya merugikanmu $1500 sebagai bagian dari program 'explorer', dan juga kesan Google memberikan dirimu sebagai orang yang terpilih dalam programnya. (Google) Glass adalah nyatanya pemisah kelas (sosial) yang tepat berada di wajahmu. (review: I, Glasshole: My Year With Google Glass)

Google Glass - Foto: pandadaily.wordpress.com)
Google Glass - Foto: pandadaily.wordpress.com)
Dan secara kesehatan fisik, Google Glass pun menuai keluhan. Salah satu ahli yang merasa ada yang salah dengan Google Glass adalah dari Sina Fateh. Ia adalah seorang ahli pengembangan augmentasi visual manusia atau opthalmologis dari California. 

Menurutnya, menggunakan alat bantu yang dipasang di kepala seperti Google Glass menyebabkan mata lelah dan kebingungan visual. 

"The problem is that you have two eyes and the brain hates seeing one image in front of one eye and nothing in front of the other," Fateh told Forbes in March 2013. Heads-up displays can cause such problems as binocular rivalry, visual interference and a latent misalignment of the eyes that results when both eyes don't look at the same object. 

"Masalah utamanya adalah Anda memiliki dua mata dan otak sulit melihat sesuatu hanya dengan satu mata dan tidak dengan mata yang satu lagi" Fateh ucap kepada Forbes pada bulan Maret 2013. 

Alat bantu visual yang digunakan di kepala dapat menyebabkan kebingungan binocular, gangguang penglihatan dan potensi mata juling karena mata tidak melihat pada satu objek saja. (berita: cio.com) 

Simpulan Dari Kacamata Orang Indonesia 

Kehadiran Google Glass mungkin tidak sesanter iPhone versi terbaru. Namun uji coba program Google Explorer di Amerika sendiri menuai efek positif dan negatif. Dan konsumenlah kembali yang menilai. Sesuai dengan kebijakan kebutuhan dan kemudahan dalam dunia teknologi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun