Memutuskan sebagai bapak rumah tangga tentunya tidak mudah dan merupakan keputusan kontroversial karena ada tiga stereotip utama yang berkembang:
- Menjadi bapak rumah tangga bukan keputusan populer di kalangan keluarga besar, apalagi dari keluarga istri/ibu. Bayangin aja siapa sih yang mau hidup bersama dengan lelaki tidak berpenghasilan? Pasti ada kekhawatiran hal ini memicu ketidakharmonisan rumah tangga dan berdampak negatif ke ibu, seperti misalnya ada KDRT, terlilit hutang hingga perceraian. Masa depan anak pun juga dipertanyakan.
- Dalam budaya patriarki yang menyelimuti negeri ini, bapak rumah tangga adalah jabatan anomali. Wong perempuan berkarier saja masih susah diterima apalagi bapak rumah tangga. Mengutip dari Mojok, betul sekali ada anggapan bahwa bapak rumah tangga itu tidak sayang keluarga, tidak bertanggung jawab, dan tidak tahu diri.
- Sosok bapak atau lelaki sering dianggap tidak mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik. Ada kekhawatiran, kalau bapak di rumah malah jadi berantakkan dan anak tidak terurus dengan baik.
Ketiga stereotip tersebut ya bisa jadi ada benarnya, balik lagi ke sosok bapaknya seperti apa. Tapi untungnya bapak saya bisa mematahkan tiga stereotip dengan melakukan 3M (bukan protokol kesehatan):
Mengingat, Memahami, dan Membuktikan
"Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, para saksi, maka saya (menyebutkan nama), dengan niat yang suci dan ikhlas hati telah memilihmu (menyebutkan nama pasangan) menjadi suami/istri saya. Saya berjanji untuk selalu setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan juga sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan juga menghormatimu sepanjang hidupku. Saya bersedia menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya dan akan mendidik mereka secara Katolik. Demikian janji saya demi Allah dan Injil suci ini, semoga Tuhan selalu menolong saya."
Terlepas karena perceraian Katolik yang rumit banget, Bapak ingat akan janjinya untuk setia dan mempertahankan keluarganya dalam kondisi apapun.
Bapak ingat akan ajaran "Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Artinya di sini, meskipun bapak tidak lagi berkarier, bukan berarti bisa seenak-enaknya menyerahkan tanggung jawab keluarga seluruhnya ke ibu, itu namanya ya egois. Keharmonisan pribadi dikesampingkan, keharmonisan keluarga diutamakan.
Setelah bapak mengingat akan janji pernikahannya, bapak memahami bahwa ketika menjabat sebagai bapak rumah tangga berarti mengerjakan pekerjaan domestik.
Paham kalau uang atau penghasilan yang diberikan oleh ibu harus digunakan "se-bermanfaat" mungkin untuk kebutuhan rumah dan keluarga. Bukan dihabiskan untuk sekedar hobi atau kepuasan pribadi.
Paham ketika ibu lelah berkarier di luar, apa yang harus dilakukan. Pastinya bukan langsung meminta dibikinkan kopi atau masak dan disuruh nyuci atau nyetrika pakaian. Justru bapak sebaliknya, membuatkan ibu hidangan dan menyelesaikan pekerjaan domestik serta memberikan dukungan secara mental. Bapak suka mendengarkan keluh-kesah ibu dan sesekali memberikan dukungan maupun saran. Bapak menanam banyak tanaman dan "menghias rumah" sehingga suasana rumah menjadi nyaman. Bapak juga setia hadir untuk anak-anaknya.
Paham ketika kebutuhan jasmani harus dipenuhi juga dengan kebutuhan rohani supaya hidup ini balance. Bapak bisa saya katakan adalah sebagai pendoa. Bapak aktif sebagai prodiakon, dekat banget dengan para pastur, dan suka ikut kegiatan bakti sosial gereja. Bapak juga punya komunitas doa yang rutin mengadakan ibadah satu kali dalam seminggu. Kami sekeluarga bisa hidup "tidak lepas dari Tuhan" karena Bapak selalu mendekatkan kami pada Tuhan.
Terakhir adalah membuktikan, ketika sudah ingat dan paham harus dibuktikan melalui tindakan nyata. Biar kalau kata anak zaman sekarang "ngga omdo alias omong doang". Bicara tentang bukti, saya ingin melampirkan beberapa foto bapak dan karyanya selama menjabat sebagai bapak rumah tangga: