"Iya, Kar. Ini aku, Felix."
Meski tak ada fisik yang terlihat, Kara yakin bahwa kekasihnya itu benar ada di sini menemani dirinya pada kesepian tak berujung. Di situ juga Kara jadi paham bahwa raga Felix masih ada di tempat pendakian. Namun jiwanya, jelas sudah pergi dan sengaja menemui sang kekasih sebagai orang pertama yang ingin ditemui.
Felix sudah tak bernyawa di sana. Dan selama raganya itu belum ditemukan, maka ia masih bisa berada di samping Kara meski tanpa terlihat.
"Aku sayang kamu, Kar," kata bisikan itu.
Kara tahu bahwa tidak ada fisik yang bisa dilihat. Tapi, ia bisa merasakan setiap sentuhan bahkan hembusan napas dalam setiap titik tubuhnya. Dan setiap ia merasakan sentuhan tak kasat mata itu, kondisi tubuhnya semakin menurun. Entah dari dalam, bahkan dari luar.
Tubunya mulai terkena luka goresan, kesehatan terganggu, hingga lebam itu yang jadi peringatan bahwa fisiknya tak bisa lagi menerima kehadiran Felix.Â
Setiap hari ia menunggu kabar apakah Felix ditemukan atau tidak. Karena jika benar-benar mayatnya ditemukan tim SAR, maka kehadiran laki-laki itu sepenuhnya akan hilang dan tidak akan bisa dirasakannya lagi.
Pada akhirnya Felixlah yang mengalah. Ia menghilang dari kehidupan Kara dan memberi petunjuk secara tak langsung ke tim pencarian agar tubuhnya ditemukan. Dan benar saja, tak lama setelah itu Felix dan dua temannya ditemukan tak bernyawa dan segara dievakuasi untuk diberikan ke keluarga.
Kini, berakhir sudah kisah Kara dan Felix. Rencana matang untuk membentuk  rumah tangga itu sepenuhnya hilang bagai debu yang ditiup angin, berubah jadi sebuah kenangan bitter sweet yang selamanya akan tertanam dalam memori otak.
"Tenang di sana ya, Fel. Love you," kata Kara menaruh buket lili di pusara yang sudah dipenuhi taburan bunga.
Kisah romansa lintas alam itu pun tidak akan pernah berlanjut. Cukup di sini. Di kalimat paragraf akhir ini.