Pelaku usaha pun (terutama yang kecil-menengah) mengeluhkan bahwa sejak adanya tukang parkir jumlah pengunjung berkurang drastis.
Hal inilah yang jadi balada bagi pemilik usaha karena sejak awal malah dipaksa untuk menerima akamsi tadi untuk menjaga lahan.
Di satu sisi, sebenarnya bisa saja lho para akamsi itu pergi dan sebuah usaha tetap bisa berjalan tanpa adanya tukang parkir.
Tapi tentunya harus ada konsekuensi, yaitu membayar pihak akamsi dengan nominal tertentu setiap bulannya. Jumlahnya biasanya diestimasikan dengan pendapatan yang seharusnya didapat dari menjaga parkir selama sebulan.
Saya bisa tahu ini karena ada satu minimarket dekat rumah yang tidak ada tukang parkirnya, padahal minimarket lain justru banyak dijaga oleh tukang parkir.Â
Karena kebetulan ada tetangga yang kerja di minimarket tersebut, ia mengatakan bahwa memang pihak minimarket (yang diurus oleh pusat) telah membayar dengan sejumlah tertentu ke pihak-pihak terkait agar lahan parkir bisa steril dari yang jaga.
TINDAKAN PEMERINTAH YANG HARUS LEBIH TEGAS
Keresahan masyarakat atas tindakan tukang parkir yang ilegal ini seharusnya bisa dilirik oleh pemerintah, terutama pemerintah daerah yang sudah menentukan mana titik resmi dan titik tidak resmi yang tidak jadi pendapatan daerah.
Misalnya saja dari Dishub yang melakukan sweeping tidak hanya ke kendaraannya, namun ke tukang parkirnya.
Pihak Bapenda pun bisa ikut berkontribusi dengan menggalakkan pajak parkir ke tempat-tempat usaha yang memang belum terdata, sehingga uang yang disetorkan masyarakat pun bisa lebih jelas.