Siapa di sini yang sering kesal karena harus membayar parkir saat pergi ke suatu tempat?
Bisa di supermarket pinggir jalan, ATM, kafe kekinian, bahkan hingga sebuah warung sederhana sekalipun.
Rasanya menyebalkan karena harus mengeluarkan uang setidaknya 2000 rupiah hanya untuk waktu yang bisa dibilang sebentar.
Kompasianer tidak sendirian kok, karena saya pun merasakan hal sama dan lebih memilih tempat yang lebih jauh tapi tidak ada tukang parkirnya.
Memang sih jumlahnya tak seberapa. Tapi kalau dipikir-pikir lebih jauh lagi mereka (tukang parkir) itu justru punya pendapatan fantastis yang bisa jadi lebih besar dari pendapatan utama kita.
Kekesalan inilah yang membuat saya tertarik untuk membahas ini lebih dalam. Mulai dari kenapa harus ada tukang parkir, ke mana uang yang kita bayarkan, dan pengaruhnya pada berjalannya sebuah usaha.
Menulis ini pun sebenarnya tidak sekadar dari opini saya, melainkan juga berhubungan dengan penelitian Tugas Akhir yang saya lakukan di tahun 2017 dengan mengambil tema retribusi parkir.
PARKIR RESMI DAN RETRIBUSI YANG HARUS DIBAYAR
Tahukah Kompasianer bahwa tukang parkir itu ada yang resmi dan tidak resmi?
Di mana tukang parkir resmi dibawahi langsung oleh Dinas Perhubungan (Dishub), sementara yang tidak resmi tidak dibawahi oleh Pemerintah Daerah setempat sama sekali.
Hal ini yang menyebabkan aliran uang parkir yang kita bayarkan ada yang masuk ke pemerintah sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku, atau justru terjadi sebaliknya.
Menemukan perbedaannya pun mudah saja, tinggal lihat apakah ia mengenakan seragam dari dishub atau tidak, atau bisa juga lihat dari lokasinya. Biasanya Dishub sudah menetapkan titik-titik mana saja yang akan jadi objek retribusi parkirnya.
Untuk retribusi parkir ini targetnya adalah kendaraan yang di parkir di pinggir jalan, sementara untuk parkir yang ada di dalam sebuah gedung, mal, RS, dan tempat usaha lain masuk ke dalam pajak parkir.
Tarif untuk membayar retribusi parkir ini sudah diatur lewat Peraturan Daerah masing-masing. Kita ambil saja contohnya di kota saya, yaitu Cimahi dengan rincian sebagai berikut yang diatur dalam Peraturan Wali Kota (PERWALI) Nomor 27 Tahun 2020.
Bisa dilihat bahwa tarif tersebut sudah ditentukan untuk sekali parkir untuk masing-masing jenis kendaraan.
Di tahun 2017 ketika saya melakukan Tugas Akhir, ada satu hal menarik tentang alur penerimaan uang yang diterima dari pengguna kendaraan.
Juru Parkir resmi akan menyetorkan uang ke Dishub sesuai dengan kesepakatan. Misal dalam sehari mereka ditargetkan untuk setor sebesar Rp 75.000, lalu hari itu si Juru Parkir mendapat uang sebesar Rp 100.000 dari tempat yang dijaganya. Maka uang sisa Rp 25.000 akan menjadi miliknya.
Setidaknya itu yang saya dapatkan beberapa tahun lalu. Kebijakan ini kemungkinan akan berubah seiring berjalannya waktu dan tergantung dengan daerah masing-masing.
PARKIR LIAR DAN "AKAMSI" DI DALAMNYA
Parkir yang tidak resmi uangnya tidak mengalir untuk operasional pemerintahan, seperti layaknya restribusi yang dikelola Dishub atau pajak parkir yang dikelola Bapenda. Parkir liar ini pada akhirnya hanya masuk ke 'kantong' oknum.
Terus, siapa oknumnya?
Sebenarnya (mungkin) ini hal yang tidak aneh lagi bagi sebagian masyarakat bahwa 'lahan parkir' dalam berjalannya sebuah tempat usaha secara tidak langsung sudah 'dikuasai' dan 'diklaim' sebagai milik Akamsi (Anak Kampung Sini).
Mereka seakan-akan menjadi punya hak untuk menguasai lahan parkir di sana dan memungut tarif ke pengunjung setempat.
Hal ini terjadi langsung dalam kehidupan pribadi saya saat beberapa bulan lalu. Di bulan April, perusahaan tempat saya bekerja membuka cabang baru di Tanjungsari Sumedang.
Sebagai perusahaan retail tiga lantai dan dengan nama yang sudah dikenal masyarakat, tentu outlet saya ini akan mengundang banyak pengunjung di hari pertama opening.
Benar saja, banyak yang datang antusias. Dan tebak, ada segerombolan orang datang untuk meminta menjaga parkir di lokasi tempat kerja saya itu.Â
Akhirnya setelah melakukan diskusi bersama atasan, semua sepakat untuk mengizinkan mereka menjaga lahan parkir. Saat itu jumlahnya sampai lima orang.
Tentu saya paham bahwa uang parkir yang mereka terima tidak bergerak ke mana-mana selain ke kantong sendiri. Tidak ke Dishub, pun ke Bapenda.Â
Meskipun sebenarnya secara peraturan, bahwa sebuah tempat usaha bisa dikenakan pajak parkir yang harus disetorkan ke bank daerah setiap bulannya.Â
Tapi sejauh saya bekerja di sana, tidak ada penagihan bahwa tempat saya kerja ini harus membayar pajak, Itu artinya, semua uang parkir jelas sepenuhnya masuk ke kantong mereka.
Jika sehari saja ada 100 kendaraan roda dua dengan tarif 2.000 per kendaraan selama 12 jam operasional outlet, itu berarti dalam sehari bisa mendapatkan Rp 200.000.
Jika dikalikan 30 hari (karena toko buka setiap hari), maka setidaknya dalam sebulan mereka bisa mendapatkan Rp 6.000.000. Angka yang cukup tinggi bukan hanya dengan mengandalkan menjaga lahan parkir saja?
TUKANG PARKIR YANG SEBENARNYA TAK DIPERLUKAN
Memang apa sih tugas tukang parkir (liar) itu? Apa mereka sekadar menjaga kendaraan kita saja?
Sebenarnya jika tugasnya benar-benar dijalankan dengan baik, tentu tidak masalah kita mengeluarkan beberapa ribu rupiah sebagai upah kepada yang jaga. Masalahnya, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya di mana mereka hanya asal-asalan menjaga dan lebih sering membuat pengguna kendaraan risih.
Bayangkan saja, untuk ke minimarket dan ATM yang waktunya saja sebentar saja tak sampai 5 menit, kita harus merogoh kocek ribuan rupiah.
Oke kalau hanya ke satu tempat, belum lagi kita mau ke warung makan, fotokopi, dan tempat-tempat lainnya, haru mengeluarkan uang lagi hanya untuk waktu singkat dan tak jelas ke mana uang yang kita bayarkan.
Belum lagi sikap tukang parkir itu yang ketika kita datang justru tidak ada di tempat, tapi ketika kita pergi malah langsung tiba-tiba datang seperti hantu.Â
Kelihatan sekali kan bahwa hanya uang yang dicari, sementara tugas utama tidak dijalankan.
Bahkan sampai ada pepatah "Uang 2 ribu nggak akan bikin miskin". Ya iya memang tidak akan membuat miskin, tapi kan bisa bikin mereka kaya. Nggak sedikit lho tukang parkir yang punya kendaraan pribadi hingga yang beroda empat, bahkan ada juga yang sampai menunaikan ibadah umroh.Â
PENGARUHNYA KEPADA PELAKU USAHA
Keberadaan tukang parkir yang tidak diinginkan ini memberi pengaruh langsung terhadap keberlangsungannya sebuah usaha, baik itu usaha besar, menengah, hingga kecil.
Saya sendiri saja jika ingin ke minimarket pasti lebih memilih datang ke tempat yang tidak ada tukang parkirnya meskipun jaraknya lebih jauh.
Pelaku usaha pun (terutama yang kecil-menengah) mengeluhkan bahwa sejak adanya tukang parkir jumlah pengunjung berkurang drastis.
Hal inilah yang jadi balada bagi pemilik usaha karena sejak awal malah dipaksa untuk menerima akamsi tadi untuk menjaga lahan.
Di satu sisi, sebenarnya bisa saja lho para akamsi itu pergi dan sebuah usaha tetap bisa berjalan tanpa adanya tukang parkir.
Tapi tentunya harus ada konsekuensi, yaitu membayar pihak akamsi dengan nominal tertentu setiap bulannya. Jumlahnya biasanya diestimasikan dengan pendapatan yang seharusnya didapat dari menjaga parkir selama sebulan.
Saya bisa tahu ini karena ada satu minimarket dekat rumah yang tidak ada tukang parkirnya, padahal minimarket lain justru banyak dijaga oleh tukang parkir.Â
Karena kebetulan ada tetangga yang kerja di minimarket tersebut, ia mengatakan bahwa memang pihak minimarket (yang diurus oleh pusat) telah membayar dengan sejumlah tertentu ke pihak-pihak terkait agar lahan parkir bisa steril dari yang jaga.
TINDAKAN PEMERINTAH YANG HARUS LEBIH TEGAS
Keresahan masyarakat atas tindakan tukang parkir yang ilegal ini seharusnya bisa dilirik oleh pemerintah, terutama pemerintah daerah yang sudah menentukan mana titik resmi dan titik tidak resmi yang tidak jadi pendapatan daerah.
Misalnya saja dari Dishub yang melakukan sweeping tidak hanya ke kendaraannya, namun ke tukang parkirnya.
Pihak Bapenda pun bisa ikut berkontribusi dengan menggalakkan pajak parkir ke tempat-tempat usaha yang memang belum terdata, sehingga uang yang disetorkan masyarakat pun bisa lebih jelas.
Tapi, sayangnya sampai saat ini tindakan dari pemerintah belum begitu tegas. Hal ini tentu bisa terlihat dari keluhan masyarakat yang sampai saat ini masih terus ada.
Masalah selanjutnya adalah tidak semua kota memiliki sarana transportasi umum yang baik, sehingga menggunakan kendaraan pribadi menjadi jalan pintas untuk mobilitasnya.
...
Nah itu tadi sedikit keluh kesah saya sebagai pengguna kendaraan pribadi yang sering jengkel dengan keberadaan tukang parkir.
Tentu tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi dan penelitian yang pernah saya lakukan. Semoga bisa bermanfaat bagi Kompasianer yang membacanya.
Akhir kata, terima kasih sudah menyempatkan baca. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya!
-M. Gilang Riyadi, 2024-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H