Bau obat begitu menyengat di hidung. Aku mencoba membuka mata dan menggerakkan badan untuk memastikan tempat apa sebenarnya ini. Namun aneh, tubuhku sama sekali tak bisa bergerak, mata pun tak bisa dibuka. Semuanya hitam dalam gerak terbatas yang sekarang tak bisa kulakukan.
Aku berbaring di permukaan yang empuk, mungkin kasur. Bagian kaki hingga setengah badan terasa lebih hangat karena ditutupi oleh kain yang cukup tebal. Sambil berusaha mencari tahu atas apa yang terjadi, aku mencoba mengingat kembali beberapa kejadian sebelumnya yang masih terekam di otak.
Pergi kerja menggunakan mobil seorang diri dengan setelan rapi, masuk tol, dan... truk. Ya, aku ingat sekarang! Sebuah truk besar tiba-tiba saja menabrak mobilku dari arah belakang, membuat kendaraan yang kukendarai ini terpental hebat dari titik awal.
Mobil berguling berkali-kali hingga kepala dan seluruh tubuhku terbentur dan terluka. Entahlah, aku tak bisa menaksir sebagaimana parahnya. Sampai sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, aku bisa melihat dengan buram beberapa orang mendekati mobil ini.
Suasana kacau. Setidaknya ada 4 mobil dan 1 truk tadi yang terguling dengan orang-orang yang mencoba menyelamatkan diri. Darah, kobaran api, teriakkan, menjadi hal yang masih kuingat sampai saat ini. '
Mungkin itulah kenapa sekarang aku ada di sini. Dirawat intensif pada sebuah ruangan rumah sakit namun belum sadarkan diri.Â
"Keadaan Davina saat ini masih koma, dan kami belum bisa memastikan kapan ia akan siuman."
Sebentar, tiba-tiba saja aku ingat apa yang diucapkan oleh seorang dokter, mungkin sekitar beberapa hari yang lalu. Aku juga ingat saat itu ada kedua orang tua dan adik laki-lakiku yang menangis histeris begitu mendengarnya.
Itu artinya aku masih dalam keadaan koma, tidak sadarkan diri dan tak mampu melakukan apa-apa, namun bisa mendengar dan merasakan keadaan sekitar.
***
Ada suara langkah kaki yang mendekat ketika pintu dibuka. Orang itu, yang sebelumnya tak kuketahui, duduk menyimpan sesuatu di meja, kemudian duduk tepat disampingku.
"Ini gue, Kai," katanya dengan suara berat.
Kai adalah adikku. Dia berusia 20 tahun yang sebentar lagi akan menyelesaikan program diplomanya di kampus. Hubungan kami sebenarnya tak bisa dibilang baik karena banyak sekali perbedaan sifat dan pendapat yang membuat suasana rumah diisi oleh suara lantang masing-masing ketika bertengkar.
"Gue... butuh lo, Kak. Cepet sembuh dan balik ke rumah, ya. We miss you for every day count."
Tanganku merasakan ada sentuhan, ternyata Kai menggenggamnya erat.
"I'm so sorry udah jadi adik yang susah diatur. Gue janji, begitu sembuh apapun keinginan Kakak akan gue turutin."
Kemudian dia menangis yang bisa kudengar isak tangisnya, juga merasakan air yang menetes mengenai telapak tangan. Jujur saja, aku tak menyangka bahwa dia akan memberikan respons seperti ini ketika aku koma.
Setelah Kai pergi, yang tak bisa kupastikan berapa lama jaraknya, ada lagi yang datang. Kali ini dua orang yang kutebak adalah Faris dan Manda dari suara mereka yang khas. Keduanya duduk di samping tempat tidur, memberikan beberapa doa terbaik agar aku segera pulih. Dapat kurasakan juga tangan Faris menggenggam tanganku erat, yang kemudian disusul dengan ciuman lembut di keningku.
"Lebih baik kamu cepat putusin Davina, Ris," kata Manda tiba-tiba. "Kita kan nggak tahu nasib dia ke depannya gimana. Belum tentu juga besok dia masih hidup."
Wow, aku sama sekali tak menyangka kata-kata itu terucap dari orang yang kuanggap sebagai rekan kerja di kantor. Padahal hubungan kita begitu baik sebelumnya.
"Jangan bicara begitu. Gimana pun juga kita harus berdoa yang terbaik untuk dia," jawab Faris santai.
"Aku cuma mau hubungan kita jelas, Ris. Kamu nggak bisa jalin hubungan ke dua orang sekaligus. Aku cuma mau jadi satu-satunya, paham?"
Sekali lagi, wow, ada satu fakta baru yang terkupas di sini.
***
Hari ini ada empat orang yang datang, di mana mereka adalah sahabat-sahabatku sejak di bangku kuliah dulu. Mereka datang seakan tanpa beban dan tak menganggap aku sakit. Ruangan dipenuhi tawa karena saling bercerita tentang kejadian-kejadian lucu yang baru saja mereka alami.
Meski tubuhku dalam kondisi tak sadar, namun aku bisa merasakan hangat dan kebahagian itu, terutama Rey yang selalu paling heboh. Mereka juga mengatakan bahwa berkat Rey lah semuanya bisa ada di sini setelah setahun lebih tidak berkumpul dengan tim yang lengkap.
Kebahagiaan itu ternyata muncul dengan sangat singkat. Satu persatu dari mereka pergi dan tinggal menyisakan Rey yang memilih untuk tetap menemani.
"Cepet bangun ya, Vin. Kalau kamu sembuh nanti, akan aku bawa bunga matahari kesukaan kamu. So please, bertahan terus demi kamu sendiri, keluarga, juga aku. I love you, Vin."
Ada sedikit rasa terkejut ketika ia mengucapkan I love you. Entah sebagai perasaan sayang terhadap sahabat sendiri, atau justru ia punya perasaan lain kepadaku selama ini. Apalagi jika mengingat ke belakang, Rey adalah orang yang selalu ada dalam setiap kondisiku.
Bahkan ketika tempo hari aku tahu bahwa kekasihku ternyata selingkuh, yang kupikirkan pertama kali jika nanti sudah membuka mata adalah Rey. Aku harus segera berbagi cerita padanya, karena memang hanya dialah satu-satunya yang bisa mengerti aku.
***
Kepalaku sedikit lebih pusing kali ini. Aku mencoba membuka mata dan bisa melihat secara samar bahwa aku ada dalam ruang rumah sakit yang berbau tajam. Alat bantu pernapasan, infus, semua terpasang dengan selang-selang yang melilit tubuh.
Aku mulai menyadari bahwa aku telah sadar dari koma. Aku bisa melihat secara jelas apa yang ada di sekitarku sekarang, termasuk makanan dan minuman yang tersimpan di permukaan meja -mungkin itu milik kedua orang tuaku atau Kai.
Ruangan kemudian terbuka, diikuti oleh langkah kaki laki-laki muda yang kemarin menjengukku. Ia membawa satu buket bunga matahari seperti apa yang pernah dijanjikan.
"Rey?" kataku menahan tangis.
"Davina?" tanyanya balik menyebut namaku seolah tak percaya bahwa aku sudah sadar. Ia menjatuhkan bunga itu, lalu berbalik arah keluar pintu dengan wajah panik.
Tiba-tiba saja aku bisa menggerakkan tubuh dan bangkit dari tempat tidur untuk menyusul Rey. Tak berselah lama, Rey datang bersama Kai, juga ditemani oleh seorang dokter dan beberapa perawat melihat tubuh asliku yang ternyata masih berbaring di tempat tidur.
Itu artinya ada dua orang Davina di sini. Aku yang sedang berdiri dan tak disadari oleh mereka, dan aku yang tertidur di sana dengan kondisi kritis.
"Kak, bangun! Kakak nggak boleh pergi," kata Kai histeris yang kemudian ditenangkan Rey.
Sahabatku itu memeluk Kai erat sambil mencoba menahan tangisannya. Meski suaranya sangat pelan, aku bisa mendengar apa yang ia katakan saat itu.
"Vin, kalau kamu memang nggak kuat lagi, aku ikhlas kok."
Kemudian pintu itu berubah menjadi cahaya menyilaukan seakan menjadi gerbang baru. Cahayanya indah, membuatku ingin masuk untuk melihat ada apa di dalamnya.
Meski dokter masih sibuk memberikan pertolongan terbaik, meski Kai masih menangisi kondisiku yang tak stabil, dan meski Rey pada akhirnya menangis juga, aku sama sekali tak mempedulikan semuanya.
Terus melangkah, hingga aku ada di sebuah tempat baru yang lebih indah.
Dan kekal.
Sampai Ku Membuka Mata - Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H