Ada suara langkah kaki yang mendekat ketika pintu dibuka. Orang itu, yang sebelumnya tak kuketahui, duduk menyimpan sesuatu di meja, kemudian duduk tepat disampingku.
"Ini gue, Kai," katanya dengan suara berat.
Kai adalah adikku. Dia berusia 20 tahun yang sebentar lagi akan menyelesaikan program diplomanya di kampus. Hubungan kami sebenarnya tak bisa dibilang baik karena banyak sekali perbedaan sifat dan pendapat yang membuat suasana rumah diisi oleh suara lantang masing-masing ketika bertengkar.
"Gue... butuh lo, Kak. Cepet sembuh dan balik ke rumah, ya. We miss you for every day count."
Tanganku merasakan ada sentuhan, ternyata Kai menggenggamnya erat.
"I'm so sorry udah jadi adik yang susah diatur. Gue janji, begitu sembuh apapun keinginan Kakak akan gue turutin."
Kemudian dia menangis yang bisa kudengar isak tangisnya, juga merasakan air yang menetes mengenai telapak tangan. Jujur saja, aku tak menyangka bahwa dia akan memberikan respons seperti ini ketika aku koma.
Setelah Kai pergi, yang tak bisa kupastikan berapa lama jaraknya, ada lagi yang datang. Kali ini dua orang yang kutebak adalah Faris dan Manda dari suara mereka yang khas. Keduanya duduk di samping tempat tidur, memberikan beberapa doa terbaik agar aku segera pulih. Dapat kurasakan juga tangan Faris menggenggam tanganku erat, yang kemudian disusul dengan ciuman lembut di keningku.
"Lebih baik kamu cepat putusin Davina, Ris," kata Manda tiba-tiba. "Kita kan nggak tahu nasib dia ke depannya gimana. Belum tentu juga besok dia masih hidup."
Wow, aku sama sekali tak menyangka kata-kata itu terucap dari orang yang kuanggap sebagai rekan kerja di kantor. Padahal hubungan kita begitu baik sebelumnya.
"Jangan bicara begitu. Gimana pun juga kita harus berdoa yang terbaik untuk dia," jawab Faris santai.