Lalu di ujung, yang kutahu adalah kamar mandi, justru terlihat semakin mencurigakan karena jadi satu-satunya ruangan yang bercahaya. Dengan detak jantung yang tak teratur, aku terus mendekat hingga melihat Madam sedang berendam di bathub seorang diri.
Tapi ia berendam dalam cairan darah. Merah, kental, dan bau amis.
"Halo, Rafika. Wanna join?" tanyanya menggoda sembari menjilat jari-jarinya yang berlumuran darah itu.
"Dasar perempuan gila!" kataku refleks berteriak, kemudian berbalik arah untuk lari.
Aku yakin bahwa itu adalah darah milik empat temanku yang sudah mati. Entah apa ritual yang dilakukannya, mungkin itulah yang menyebabkan dia bisa awet muda dan hidup sampai saat ini di usianya yang sebenarnya sudah tua.
Di lantai dasar, aku membuka pintu yang terkunci dan segera membawa langkah kaki keluar dari tempat gila ini. Tapi di luar dugaan, di sini semuanya gelap. Rumah-rumah mewah yang semula kulihat ketika datang justru berbalik jadi rumah terbengkalai yang tak berpenghuni. Hanya rumah Madam saja yang terlihat memiliki kehidupan.
Aku pun tak tahu harus lari ke mana, berusaha fokus meski sambil menahan tangis dan takut.
"Rafika!", Yola datang dari balik pintu dengan tangan dan badan yang berlumuran darah.
"Hati-hati, Fik! Dia jahat!" Kali ini Jasmine yang datang beberapa detik kemudian dengan lumuran darah yang tak kalah banyak, berjalan sedikit pincang, juga membawa pisau.
Situasi ini masih belum sepenuhnya kupahami. Mereka berdua seakan saling tuduh dan mengatakan bahwa salah satunya adalah orang jahat sebagai kaki tangan Madam Ambar.
Karena tak mau mengambil risiko terjebak pada orang jahat, aku nekad masuk kembali ke rumah untuk mencari senjata yang bisa kulakukan melawan semuanya. Tapi Jasmine menyergapku, menggoreskan pisau yang dipegangnya tadi ke pergelangan tangaku hingg terasa sakit dan mulai meneteskan banyak darah.