Hari itu Rava tidak bisa langsung memberi jawaban dan meminta waktu untuk memikirkan keputusan apa yang akan diambil. Lalu sekarang saat ia kesulitan memfokuskan diri pada pekerjaan, pesan dari Dino terasa jadi teror yang terus menunggu jawaban.
"Kenapa aku, No? Kamu bisa aja kan dapat donor langsung dari luar negeri dengan bibit yang lebih unggul," kata Rava esok harinya saat Dino berkunjung ke rumahnya
"Aku mau saat anak aku udah besar nanti, dia bisa tahu siapa ayah kandungnya. Dan lagi aku juga tahu semua background kamu dari zaman sekolah. Kamu orang yang tepat, Rav."
Pertemuan singkat yang tak lebih dari tiga puluh menit itu berakhir tanpa hasil apa-apa. Tapi sekadar untuk berjaga, Rava membuat surat persetujuan yang diisi oleh poin-poin penting tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan jika ia memang bersedia menjadi pendonor sperma untuk pembuahan itu.
Tentang siapa nanti yang harus menafkahi, apakah boleh ada pertemuan dengan ayah kandung, jumlah imbalan yang disarankan, dan masih banyak lagi yang lain. Setidaknya di sini ia bersikap profesional meskipun Dino adalah sahabatnya sendiri.
Hari Sabtu nanti aku main ke sana
Itu isi pesan yang dikirim Rava, yang menjadi keputusan akhir tentang apakah ia akan punya keturunan meski belum terikat pernikahan.
***
Lima tahun berlalu sejak perdebatan dalam diri Rava. Kini ia tetap menjalani hidup seperti biasa seakan masa-masa itu tak pernah terjadi. Menjadi pengacara, datang ke persidangan, dan membantu kliennya yang ingin bercerai. Hari ini misalnya, ia menangani kasus KDRT yang melibatkan pejabat daerah setempat.
Setelah dari tempat persidangan, dengan kemeja rapinya, Rava menuju kediaman Dino dan Alika. Halaman rumah sahabatnya yang luas diisi oleh beberapa tanaman hias yang berwarna-warni.Â