Aku butuh bantuan kamu.
Itu kata-kata yang paling teringat oleh Rava saat sahabatnya, Dino, menghubungi mendadak pada tengah malam di akhir pekan. Jika seperti ini, biasanya Dino sedang membutuhkan sesuatu yang tak bisa didapatnya dari orang lain.
Maka seminggu kemudian di kafe pinggir kota tempat mereka biasa nongkrong sejak bangku kuliah, menjadi tempat keduanya bertemu.Â
Tak ada yang berubuah kecuali raut wajah Dino yang tegang seperti ketakutan. Mungkin ini faktor seseorang yang sudah menikah, dibebani oleh tanggung jawab yang semakin besar.
Percakapan awal berjalan lewat basa-basi yang sebenarnya terasa canggung. Rava bisa melihat bahwa Dino menyembunyikan sesuatu yang harus segera diketahuinya.
Maka sebelum gelas masing-masing yang terisi kopi dengan varian berbeda itu habis, Rava bertanya langsung ke inti tentang masalah apa yang sedang dialaminya, juga tentang bantuan yang disebutkan tempo hari.
"Tiga tahun pernikahanku dengan Alika belum disambut buah hati," katanya pelan menatap Rava sendu. "Kami berdua sudah berusaha semaksimal mungkin konsultasi ke beberapa dokter dan melakukan beberapa terapi."
"Sebentar..." Rava memotong. "Jangan bilang kalian berdua mau bercerai?" tanya Rava curiga, mengingat dirinya bekerja sebagai pengacara yang biasanya menangani kasus perceraian.
Asumsi itu ditepis Dino saat itu juga. Namun apa yang kemudian dikatakan laki-laki berusia 30 tahun itu membuat Rava benar-benar terkejut hingga pikirannya kosong, tak mampu memberikan respons yang tepat untuk menjawab ya atau tidak.
"Nggak gini caranya, No," jawab Rava tanpa menatap lawan bicara.