Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serial Detektif | Gerbong Sianida

24 Juli 2022   19:12 Diperbarui: 24 Juli 2022   19:25 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu dalam perjalanan menuju Bandung, seharusnya menjadi waktu istirahatku dari segala rutinitas pekerjaan. Setelah sebelumnya berhasil mengungkap kasus penyelundupan narkoba di Ibu Kota, aku memilih cuti untuk kembali ke kota asal. Bersama Adri, polisi muda dari Divisi Kejahatan, kami menggunakan tranportasi kereta api yang berangkat dari Stasiun Gambir.

Namun siapa sangka, lagi-lagi aku menemukan kasus yang sama sekali tak terduga di sela waktu santai ini. Di gerbong makan ketika kami mengisi perut, seorang perempuan yang duduk sendirian tiba-tiba berdiri memegang tenggorokan dengan dua tangannya. Ia setengah berteriak seperti meminta pertolongan.

Tak lama perempuan paruh baya itu terjatuh, mengundang reaksi orang-orang yang juga sedang menikmati hidangan di gerbong ini. Korban sempat bergerak beberapa detik sampai benar-benar tak sadarkan diri dengan mata dan mulut yang terbuka.

Aku segera mengenakan sarung tangan yang selalu dibawa untuk kasus tak terduga seperti ini. Memeriksa denyut nadi, leher, mata, hingga mulut yang bau menyengat seperti almond.

"Adri, catat waktu kematiannya," pintaku setelah benar-benar yakin bahwa orang ini tak lagi bisa diselamatkan.

"Jam 1:17, Pak Raditya."

Ada empat lagi yang ada di gerbong makan ini selain aku, Ardi, dan korban. Tampaknya semua sama-sama sendirian dengan posisi duduk yang tak jauh dari korban.

"Jangan ada yang meninggalkan gerbong ini sampai kereta berhenti!" kataku setengah berteriak menatap semuanya. "Korban tewas karena mengonsumsi potasium sianida. Dan saya rasa... ini pembunuhan terencana."

"Memangnya Anda siapa sampai yakin bahwa ini pembunuhan?" tanya seorang laki-laki muda berkacamata dengan sinis. "Kalaupun iya, hanya polisi lah yang berhak memerintah kami."

Adri mengeluarkan dompet dari saku celananya, memperlihatkan identitas polisinya meski saat ini sedang berpakaian kasual.

"Adri, Divisi Kejahatan Kepolisian Pusat Ibu Kota. Dia Raditya, detektif swasta yang biasa membantu kami melakukan penyelidikan."

"Saya mohon kerja sama dari semuanya. Silakan duduk di tempat semula, kami akan melakukan interogasi kepada kalian. Adri, hubungi pihak kereta api bahwa terjadi sesuatu di sini. Jangan ada yang masuk lagi, kecuali petugas."

***

Korban bernama Ratih, 52 tahun, pengusaha bidang kuliner. Ia tewas karena mengonsumsi potasium sianida yang kurasa telah dicampurkan pada makanan yang ia pesan, nasi putih dengan ayam krispi dan teh kemasan botol. Aku belum bisa memastikan secara langsung, tapi mencium bau almond yang juga ada di peralatan makan, kemungkinan besar racun memang dicampurkan di sini.

Kereta masih melaju dengan estimasi sampai sekitar satu jam lagi. Itu artinya aku harus segera menemukan pelaku sebelum ia kabur ataupun menghilangkan barang bukti penting.

"Ya betul, saya lah yang menyiapkan menu tersebut untuk korban."

Tersangka pertama, Fajar, petugas kereta api yang selalu stand by  di gerbong ini untuk menyiapkan menu yang penumpang pesan. Biasanya ada satu orang lagi yang akan membantunya, tapi partnernya itu kebetulan sedang mengantar makanan ke gerbong lain.

Korban mengambil makanannya langsung di meja pemesanan, lalu duduk seorang diri di tempatnya jatuh tadi. Dan dalam jangka waktu tersebut, Fajar masih ada di tempat tanpa beranjak ke mana-mana.

Tersangka kedua, Gian, pemuda berkacamata yang tadi sempat menatapku sinis. Dia duduk di meja pemesanan yang modelnya mirip meja bar. Gian sempat duduk bersebelahan dengan korban selama satu-dua menit. Ada kemungkinan juga bahwa ia memiliki kesempatan untuk mencampurkan racun saat korban lengah.

"Oh, ayolah, kenapa aku tidak boleh kembali ke gerbong? Pacarku di sana akan khawatir, detektif," kata Gian pada akhir pertanyaan interogasi.

Tersangka ketiga, Marlina, perempuan berusia 30 tahun yang bekerja sebagai MUA yang dikelolanya sendiri. Dia duduk saling membelakangi dengan korban ketika makan. Menurut keterangannya, ia hanya memesan snack kemasan untuk sekadar bersantai sambil melihat referensi make up dari laman YouTube dan Instagram.

"Aku tidak kenal korban. Untuk apa juga sampai harus membunuhnya?"

Terakhir, ada Ane, perempuan muda berambut pendek yang bekerja sebagai teller bank. Berbeda dengan tiga tersangka lain yang memang sempat berdekatan dengan korban, Ane justru yang duduk paling jauh. Kursinya lebih dekat ke tempatku dan Adri duduk. Sebenarnya nyaris tak ada kesempatan untuk dia memberi racun.

"Segera lah selesaikan ini, Detektif. Aku harus segera ke kamar mandi untuk mengganti pembalut," pinta Ane menyilangkan lengan di dada, kemudian meminum segelas teh hangat yang dipesan sebelumnya.

Interogasi singkat selesai. Aku membuka buku catatan kecil untuk melihat kembali keterangan dan posisi duduk keempat orang ini. Adri duduk di depanku, mengetuk jarinya di meja makan untuk ikut berpikir.

"Aw." Adri melepaskan jarinya setelah menyadari ada benda tajam kecil di meja yang melukainya. Darah keluar dari telunjuknya itu, membawa gerak refleks menghisap jarinya lewat mulut.

Aku terdiam beberapa detik, sampai akhirnya menyadari satu hal sederhana yang terlewat dari rangkaian kasus ini.

"Adri, saya tahu siapa pelakunya."

***

Estimasi sampai ke tempat tujuan kurang lebih dua puluh menit lagi. Empat tersangka masih duduk di tempatnya masing-masing. Fajar dan Gian di meja bar pemesanan saling berhadapan. Di belakang kursi korban, ada Marlina yang menatap kosong kemasan plasti snack tadi. Di sudut lain, Ane bersandar santai mendengarkan musik melalui headset sambil menyilangkan lengan.

Aku, Adri, dan satu petugas lain dengan seragam gelapnya berdiri di tengah-tengah mereka.

"Detektif, jika Anda memang yakin begitu, tolong tunjukkan bagaimana trik, juga siapa pelakunya," kata Marlina tanpa menatap ke arahku.

"Kita melupakan satu hal dari kematian korban." Aku melanjutkan ketika semua mata tertuju ke sini. "Dia memesan paket nasi ayam krispi dan sebotol minuman. Tidakkah kalian sadar bahwa sendok dan garpu plastik milik korban nyaris tak terpakai?"

Semua pasang mata kini beralih ke meja korban. Mendapati bahwa memang benar garpu dan sendok di sana masih bersih. Ini menunjukkan bahwa korban langsung menggunakan tangannya untuk makan. Ketika mengambil nasi dari tangan, pasti ada beberapa bulirnya yang menempel di jari. Beberapa orang akan langsung memakan sisa nasi itu dengan mengarahkan setiap jarinya ke mulut, termasuk yang dilakukan korban sebelum tewas.

"Tunggu, Pak Detektif," Petugas berseragam di samping Adri memotong. "Apa maksudmu jari korban sejak awal telah dilumuri racun?"

Betul sekali, bahwa sebenarnya kita semua telah dikecohkan dan menganggap korban mengambil racun dari makanan, padahal sebenarnya korban lah yang membawa racun ke makanan.

Trik ini bisa digunakan oleh siapa pun yang sempat melakukan interaksi dengan korban. Fajar yang melayani langsung saat korban memesan, Gian yang juga secara singkat duduk sebelahan, atau pun Marlina yang sempat membelakang korban. Lain lagi dengan Ane yang duduk paling jauh dan nyaris tak melakukan interaksi dengan korban.

Adri menyiapkan 4 bungkus keripik singkong kemasan yang kali ini ditaruh di masing-masing meja tersangka. Sesuai intruksi dariku, keempatnya membuka bungkusan itu, lalu memakannya tanpa tahu maksudnya apa. Tapi, ada satu orang yang justru hanya terdiam dan tak mengikuti tiga orang lainnya.

"Saudari Ane, kenapa Anda tidak ikut makan? Jangan khawatir, itu kan kemasan baru. Tak mungkin ada racun," kata Adri melangkah pelan ke tempatnya duduk.

"Ane tidak akan bisa mengonsumsi apapun sebelum ia mencuci tangan, karena racun sianida itu masih tersisa di telapak tangannya. Atau mungkin aku harus menyebut dia sebagai... nona pelaku."

Semua memasang reaksi kaget tanpa mengira bahwa yang paling jauh dari korban ternyata pelakunya. Sebelum kereta ini benar-benar berhenti di tujuan, aku menjelaskan semua trik ini mulai dari kapan dan di mana ia bisa melumurkan racun pada korban.

Sebelum memasuki gerbong ini, sebenarnya aku sempat melihat Ane dan korban berada di gerbong eksekutif meski beda kursi. Saat itu Ane menjatuhkan ponselnya yang kemudian diambil oleh korban. Tanpa korban tahu sebenarnya racun sianida sudah ada di case ponsel Ane dan tangan korban seketika terlumuri oleh racun itu.

Begitu sampai di gerbong ini, korban memesan makanan dengan motode pembayaran cashless sehingga hanya perlu menggunakan ponsel untuk membayarnya. Racun tetap masih ada di tangannya. Hingga ketika menikmati hidangan itu, akhirnya korban jatuh dan tidak selamat.

"Sisa racun masih ada di tangan. Itu sebabnya Anda tidak pernah menyentuh meja sejak awal interogasi hingga saat ini dan memilih memesan minuman untuk meminimalisir racun tak terkonsumsi secara langsung. Alasan ke kamar mandi sebenarnya untuk segera mencuci tangan agar kembali bersih. Apa saya salah, saudari Ane?"

"Kalau begitu di mana racun yang digunakan Ane? Bukankah kita semua sudah digeledah dan kalian tak menemukan apa-apa?" tanya Fajar dari meja bar.

"Ane mengoleskan racun di case ponselnya sebelum masuk gerbong ini. Tentu saja racun itu masih ada di tasnya. Jika lengah, ia akan pergi dan menghilangkan barang bukti. Sayang saja Ane tidak mencuci tangan dulu supaya-"

"Aku sengaja," jawab si pelaku memotong. "Aku ingin menyaksikan secara langsung detik demi detik bagaimana perempuan itu dijemput ajalnya."

Dari sana kami semua telah mendengar pengakuan langsung dari Ane. Ia langsung dijemput polisi setempat begitu kereta berhenti di stasiun Bandung. Aksi mematikan itu semata-mata dilandaskan dendam pribadi karena korban merupakan nasabah di tempat pelaku bekerja. Pernah dalam beberapa kali, korban membuat pelaku kesal karena dipermalukan di depan karyawan bahkan nasabah lain.

Hingga ketika menemukan celah melakukan aksinya, Ane menyiapkan semuanya dengan matang. Sayangnya ada aku di sini, yang membuat rencananya ketahuan bahkan sebelum kereta ini berhenti.

"Pak Radit, jangan lupa agenda minggu depan," kata Adri ketika kami baru keluar stasiun dengan membawa ransel besar.

"Agenda apa itu?"

"Anda harus menjadi saksi dalam sidang KDRT klien bernama Lasmi."

"Ah itu. Baiklah, aku tidak akan lupa."

***

SERIAL DETEKTIF | GERBONG SIANIDA - SELESAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun