Sekali lagi Fahri menarik napas panjang. Ia harus bisa mengontrol semua emosinya.
"Aku nggak yakin kalian berdua cuma sekadar temen," jawabnya dengan sorot mata tak bersahabat.
"Kamu pasti capek, kita beli minum dulu oke?"
Giliran Dera menarik tangan Fahri. Namun kekasihnya tetap mematung, seakan tak ingin pergi sebelum mendengar kejelasan. Akhirnya, Dera menyerah. Ia menceritakan soal pria itu. Pria yang dikenalnya empat bulan lalu, yang ternyata memiliki perasaan lebih kepadanya. Dera tak akan melupakan bagaimana perasaannya hangat ketika bersama Andra, yang lebih hangat dari hubungan jarak jauh bersama kekasih aslinya.
"Semuanya nggak mudah. Perempuan, seorang diri di negara orang. Sampai akhirnya dia datang ke kehidupan aku, memahami kesendirian aku, membantu apa yang aku butuh, jadi teman curhat, dan..."
"That's good. Sekarang aku akan pulang, dan kamu bisa hidup bahagia bersama dia," jawab Fahri penuh penekanan.
"Aku nggak punya perasaan apa-apa ke dia selain jadi teman!"
"Tapi dia punya!" Nada tinggi Fahri akhirnya berada di puncak. "Apa sih yang kamu harapkan dari dia yang suka sama kamu, menghabiskan waktu setiap hari, dan dengan entengnya kamu bilang bahwa kita cuma temen?"
Dera terdiam, tenggelam dalam jeda yang membawa langkah Fahri perlahan menjauh dari sana. Ia mencoba menahan kekasihnya, namun Fahri menepisnya kasar. Hingga ketika sudah beberapa langkah, Fahri berbalik, melihat Dera yang masih mematung tak berdaya di sana.
"Harusnya, sejak awal aku sadar bahwa kamu memang belum siap punya hubungan jarak jauh. Aku nggak yakin untuk bilang ini, tapi... kita putus."
Fahri pergi dari pusat perbelanjaan itu dengan perasaan yang benar-benar hancur. Sebisa mungkin ia menahan air mata agar tak keluar di tengah keramaian ini. Ia bisa melangkah melupakan kekasihnya. Ia harus bisa.