Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serial Detektif - Rampok

6 Januari 2021   16:49 Diperbarui: 6 Januari 2021   19:22 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by thecinemacritic.wordpress.com

Pukul enam pagi, aku bersama tiga orang dari tim divisi kejahatan mendatangi rumah tempat kasus perampokan yang terjadi kemarin malam. Beberapa warga sekitar mengeremuni bagian depan lokasi yang terhalang garis polisi. Ada juga rekan media dengan perlengkapan kamera dan mic-nya yang terus menggali informasi tentang kasus ini.

"Raditya, detektif," kataku memperlihatkan identitas pada polisi yang sedang berjaga.

Begitu dipersilakan, langkah kaki membawaku masuk. Rumah mewah berlantai tiga ini masih berantakan dengan banyak barang pecah belah yang sudah jadi kepingan tajam. Jika tak hati-hati dan tanpa perlindungan pada kaki, aku pastikan seseorang bisa terluka.

Tepat di depan televisi berukuran besar inilah peristiwa itu terjadi. Mayat memang sudah dibawa oleh tim forensik. Tapi berbekal foto dan gambaran saat korban tergeletak, aku bisa membayangkan situasinya.

Prahadi, pengusaha kaya di bidang kuliner ini menjadi korban utama. Tubuhnya terbaring kaku dengan luka tusuk pada bagian dada dan perut. Tak jauh dari tempat korban tewas, istrinya terlentang tak berdaya dengan sayatan pada leher yang benar-benar membunuhnya saat itu. Darah berceceran di mana-mana, bahkan di beberapa titik ada yang belum kering.

"Bagaimana dengan kedua anaknya?" tanyaku sembari melihat kembali lembar-lembar foto ini.

"Anak sulungnya berusia 17 tahun tewas seketika di kamarnya, di lantai dua. Terdapat luka tembak pada bagian kening," jawab Ara, satu-satunya perempuan di tim kejahatan ini. Ia membaca dari catatan kecil yang selalu di bawanya itu.

"Dan yang bungsu... berusia 12 tahun, ditemukan pingsan di kamar mandi lantai satu, dekat gudang." Kini giliran Adri memberi informasi, tim divisi kejahatan yang paling muda. Usianya baru menginjak angka 23. "Dugaan sementara ia bersembunyi di sana ketika peristiwa terjadi. Sekarang ia berada di rumah sakit dengan pengawalan polisi dan ditemani juga oleh psikolog."

Terakhir aku mendapat informasi dari Jeremy, tim divisi kejahatan yang lain, bahwa brankas kecil di kamar Prahadi telah dibuka paksa. Emas batang, uang tunai, dan perhiasan bernilai tinggi lenyap tak tersisa.

***

Puluhan lembar foto yang kudapat dari pihak kepolisian masih kuperiksa di rumah, bahkan hingga tengah malam. Beberapa saksi yang sekiranya berhubungan dengan Prahadi sudah kumintai keterangan. Semuanya kurekam dalam ponsel. Dan kini aku sedang mendengarkannya lewat headset sambil mencorat-coret kertas kosong.

"Akhir-akhir ini sepertinya hubungan Pak Prahadi dengan istrinya tidak teralu baik."

"Kalau soal pelaku, bisa saja kompetitor bisnisnya. Apalagi usaha Pak Prahadi sekarang sedang berada di puncak."

Meja berantakan bukan hal aneh ketika aku menyelidiki kasus. Ketika hendak membereskannya karena kurasa aku butuh istirahat, Jeremi menelepon. Tumben sekali di waktu yang selarut ini.

"Ya, Jer?"

"Ada satu informasi soal Prahadi. Saya tidak yakin ini penting atau tidak, tapi saya rasa Pak Radit berhak tahu."

"Apa itu?"

***

Markas pusat kepolisian menjadi tempat bertemuku dengan Jeremi. Pukul 8 pagi kala itu, Jeremi menyerahkan berkas yang disimpan di sebuah map biru tua. Isinya ternyata surat pernyataan cerai yang diajukan Prahadi sebulan lalu.

"Pihak pengadilan bilang bahwa Prahadi mengajukan permohonan cerai karena istrinya selingkuh."

"Ada lagi informasi yang kamu dapat?" tanyaku.

"Tama. Tiga puluh lima tahun, dosen, belum menikah. Beberapa sumber menyebutkan dia adalah orang ketiga dari masalah rumah tangga ini," jawab Jeremi yang kembali menyerahkan berkas tambahan, dilengkapi dengan foto wajah dan alamat dari orang itu.

Dari Markas, aku mendatangi laki-laki bernama Tama ini di tempat mengajarnya. Kali ini aku ditemani Ara. Ia bisa diandalkan untuk mengolah informasi secara cepat. Dan lagi, ia juga lihai dalam mendeteksi kebohongan seseorang.

Tama tampak lebih muda dari umurnya. Ia sedikit kaget ketika tahu seorang detektif dan polisi wanita tiba-tiba datang menemuinya. Maka, kami berkumpul di kantin kampus yang sepi dari keramaian. Begitu menanyakan soal Prahadi dan istrinya, Tama hanya menjawab bahwa mereka hanya sebatas kerabat.

"Kapan Anda terakhir bertemu dengan Prahadi?" tanya Ara sambil mencatat.

Tama tidak langsung menjawab. Ia terlihat memikirkan sesuatu hingga sudut matanya tak menatap pada kami.

"Se-sehari sebelum dia tewas, saya rasa."

"Lalu, di mana Anda saat peristiwa itu terjadi? Ada yang bisa membuktikan?"

Sekali lagi, Ara membuatnya tak berkutik.

***

"Tama punya andil besar dalam kasus perampokan ini." Adri berdiri dalam ruangan. Sementara aku, Ara, dan Jeremi duduk memandangnya. "CCTV gerbang kompleks merekam ada mobil keluar saat kejadian. Aku sudah menyelidikinya kemarin. Hasilnya, itu mobil rental yang dikendarainya."

"Alibinya pun tidak kuat. Kemungkinan besar dia ada di TKP saat tewasnya Prahadi," kini Ara yang bicara.

Jeremi berdiri, berganti posisi dengan Adri yang kini duduk.

"Tubuh Tama besar, cukup untuk membunuh dua orang dewasa dan seorang remaja. Apa lagi yang kini kita ragukan?"

"Bukti, Jer," kataku memotong. "Hanya ada pisau tanpa sidik jari pelaku. Dan lagi, pistol yang digunakan saat membunuh anaknya belum ditemukan. Jika hanya sebatas spekulasi seperti itu, aku tidak yakin bisa membawanya ke meja hukum."

Saat kesenyapan membungkam kami berempat, aku mendapat panggilan dari psikolog yang berjaga di rumah sakit. Ternyata ini soal anak Prahadi. Laki-laki kelas 6 SD itu sudah bisa dimintai keterangan. Dan beberapa saat lalu ia mengatakan satu fakta penting soal pembunuhan keluarganya itu.

Ternyata, Prahadi lah yang menembak anak pertamanya.

***

Di ruangan tempat anak itu dirawat hanya ada aku, dia, juga psikolog yang beberapa hari terakhir menemaninya. Kata psikolognya, kondisi Beno sudah lebih tenang dan bisa diajak bicara. Dengan sangat hati-hati, aku menanyakan soal peristiwa itu. Apa yang terjadi, siapa pelaku yang kira-kira bersalah, hingga kenapa dia bisa ada di kamar mandi.

"Aku sengaja ke kamar kakak karena tidak bisa tidur. Di sana, Papa menembak Kakak di tempat. Suaranya sangat keras sampai telingaku sakit."

Beno terus memberi keterangan. Tentang dia yang teriak saat itu juga, juga tentang Prahadi yang berbalik arah menodongkan pistol pada dirinya. Aku tak tahu apa yang merasuki Prahadi saat itu. Tapi bisa saja ini berhubungan dengan perselingkuhan istrinya, lalu ia tak percaya bahwa mereka berdua bukanlah anak kandungnya.

Istri Prahadi menuju lantai dua. Ia berhasil menggagalkan aksi suaminya dengan menendang pergelangan tangan hingga pistol terjatuh. Ya, aku sempat mendengar bahwa istrinya ini memang atlet karate.

"Di lantai satu Mama dan Papa bertengkar hebat. Aku bersembunyi sejauh mungkin dari mereka, apalagi melihat Papa yang terus mengincarku."

Sampai akhirnya istri Prahadi menyelamatkan anaknya. Ia membawa Beno ke kamar mandi dekat gudang untuk bersembunyi di sana sampai bantuan datang. Selanjutnya, anaknya itu mendengar jeritan dan barang pecah belah yang terdengar dari balik pintu kamar mandi. Ia tak bisa berbuat banyak selain menangis dan berdoa semoga Ibunya baik-baik saja.

"Beno, ini pertanyaan terakhir, apa ada orang lagi yang terlibat selain keluarga?"

Begitu selesai, aku keluar kamar dan langsung menghubungi Adri.

"Adri, kamu sudah di rumah Tama?" tanyaku dari sebrang telepon sembari menceritakan kesaksian dari anak Prahadi.

"Sebentar lagi sampai, Pak. Aku bersama Ara."

"Oke pastikan kalian mendapat informasi. Karena hanya dia satu-satunya kunci kasus ini."

"Siap, Pak."

***

Aku bersantai di teras rumah sambil menyesap teh lemon hangat. Koran yang kubaca saat ini memberitakan soal pengungkapan kasus perampokan dan pembunuhan  yang terjadi beberapa hari lalu. Di sana tercantum namaku yang juga mempunyai peran dalam menemukan kebenaran. Aku tak peduli soal nama itu sebenarnya. Setidaknya tidak ada misteri yang tersembunyi.

Sebenarnya pelaku dari kasus ini adalah diri Prahadi sendiri. Sudah sejak lama ia mencurigai istrinya yang berselingkuh dengan dosen muda. Akhirnya setan masuk ke tubuhnya hingga ia kalap membunuh anaknya sendiri.

Soal Tama, sebenarnya ia sudah stand by di depan rumah Prahadi 15 menit sebelum peristiwa berdarah itu.

"Cepat bawa ini. Aku punya firasat buruk soal Prahadi. Sudah kuatur agar terlihat sebagai kasus perampokan."

Tama ingin sekali menolong dan membawa kekasihnya itu pergi. Tapi prioritas saat itu adalah membawa seluruh isi brankas ke tempat aman untuk disimpan sebagai bekal anaknya nanti. Maka, Tama pergi, bertepatan dengan suara pistol yang terdengar samar dari halaman rumah.

Pistol ditemukan di kamar mandi tempat Beno sembunyi, sementara itu sidik jari Prahadi dan istrinya pun ditemukan di pisau, menandakan bahwa keduanya sempat saling menyerang satu sama lain. Dugaanku dan rekan tim kejahatan lain, Prahadi ditusuk istrinya lebih dulu, barulah dengan sisa tenaga Prahadi menyayat leher istrinya hingga tewas saat itu juga, bersamaan dengan dirinya.

Ketika ingatan kesaksian Beno dan Tama masih terjaga di pikiran, ada satu pesan masuk di ponsel dari Jeremi. Aku tahu, ini darurat karena nada deringnya beda.

Ada kasus, Pak. Kali ini penculikan anak.

Sepertinya tidak ada waktu istirahat bagi detektif.

Serial Detektif - Rampok
SELESAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun