Siaran berita televisi masih membahas soal lonjakan virus corona. Aku hanya mendengar sekilas bahwa data orang yang terinfeksi per hari kemarin mencapai angka tertinggi sejak bulan Maret lalu. Oleh karena itu aku lebih memilih berada di dalam rumah dan hanya keluar untuk sesuatu yang mendesak saja.
Sambil mendengar televisi yang belum dimatikan, angka di jam dinding ruang tengah menunjukkan pukul 9 kurang 15 menit. Sekali lagi aku berkaca pada layar laptop yang menyorot diriku dari kamera. Memeriksa riasan make up, posisi kerudung, juga bibir yang sebelumnya sudah dipoles dengan lipstik berwarna nude.
Oke, here we go.
"Selamat pagi semuanya," sapaku menatap belasan wajah mahasiswa di aplikasi Zoom, tentu dengan kondisi tv yang telah dimatikan agar tak menganggu.
"Pagi, Bu," jawab mereka kompak.
Sambil berbasa-basi mengabsen satu persatu yang hadir, aku menunggu partner mengajarku saat ini. Jangan sampai dia telat masuk seperti seminggu lalu. Malu juga kalau dilihat oleh mahasiswa.
"Hari ini ngajar sendiri, Bu?" tanya salah satu di antara mereka.
"Pak Irza juga ngajar, kok. Dia masih memeriksa tugas kalian dan kemungkinan 15 menit ini hanya akan ditemani oleh saya," jawabku memberi alasan agar citra kami sebagai asisten dosen tidak terlihat buruk.
Tidak sampai 15 menit, orang yang ditunggu akhirnya bergabung pada ruang belajar daring ini. Irza sudah berpakaian rapi dengan kemeja polos biru muda dan rambut pendeknya yang disisir rapi.
Sejak awal keputusan pemerintah untuk memberlakukan aturan belajar di rumah, aku dan Irza dipercaya membantu salah satu dosen untuk mengajar mahasiswanya. Sebenarnya kami berdua merupakan mahasiswa S2 yang masih menempuh pendidikan. Tapi dengan dipercaya menjadi asisten dosen, aku bisa membagikan ilmuku pada orang lain serta melatih kemampuan bicara di depan orang banyak.
Kelas berakhir. Satu per satu mahasiswa meninggalkan aplikasi video call itu. Kini hanya tersisa aku dan laki-laki ini saja. Ya, memang inilah rutinitas kami setelah mengajar. Berbincang satu sama lain membahas soal apapun. Kadang soal kabar, atau cerita satu sama lain mengenai persoalan hidup.
"Kanina..."
"Apa, Za?"
"Kapan kita bisa ketemu?" tanyanya sedikit manja. "Kangen. Dari awal pandemi kan kita nggak ketemu."
Masih menatapnya dari layar laptop, aku hanya diam tanpa memberi jawaban. Permintaan itu bukan sekadar pertemuan biasa, tapi lebih dari itu.
***
Rutinitas hari ini masih berlangsung seperti biasa. Mengajar via daring kepada mahasiswa selama satu setengah jam ke depan. Tentu, ditemani juga oleh Irza. Jika sebelumnya ketika kegiatan selesai aku dan dia akan berbincang sejenak, tapi kali ini berbeda. Aku sedikit tak enak badan dan memilih untuk mengakhiri percakapan ini.
Malamnya Irza menghubungiku lewat aplikasi chat karena tahu bahwa seharian ini aku sama sekali tak mengabarinya. Aku mengerti dia khawatir, tapi hanya ini yang bisa aku lakukan untuk memulihkan diri, yaitu menghindar darinya. Meski aku tahu, akan selalu dipertemukan hampir setiap hari ketika ada jadwal mengajar. Jadi, apakah usaha ini sia-sia?
Semakin hari Irza sadar bahwa ada yang berbeda dari diri ini. Ia menelepon berulang kali namun tak kuangkat. Sampai akhirnya, aku menyerah. Mendengar suara itu lagi yang sejujurnya kurindu.
"Kamu kalau ada masalah cerita. Masa cuma diam gini aja?" katanya dari seberang telepon tanpa basa-basi.
"Aku nggak apa-apa. Cuma butuh waktu sendirian. Nggak akan lama."
"Ini pasti ada sesuatu dan berhubungan sama aku. Ayolah."
Aku menarik napas panjang sebelum melanjutkan.
"Kamu bener mau serius sama aku?"
"Iya lah, Nin. Kita pernah bahas ini sebelumnya. Bahkan kalau bukan karena pandemi, aku udah ajak keluarga aku di Semarang untuk ketemu keluarga kamu di sana."
Jeda beberapa detik memisahkan kami. Lagi-lagi aku kehilangan kata-kata. Semua yang ada di pikiranku seolah terganti oleh air mata yang tiba-tiba saja mengalir.
"Kamu masih ragu, ya?" tanyanya. "Ya aku tahu kita memang belum terlalu lama kenal, bahkan kita mulai dekat sejak sama-sama ngajar. Wajar kalau kamu belum siap. Mungkin akunya yang terlalu buru-buru."
Telepon diputus oleh diriku sendiri. Aku tak sanggup menahan air mata ini lebih lama lagi. Bantal tidur menjadi sasaran emosiku. Aku menangis sejadi-jadinya pada malam itu. Sampai Mama sadar bahwa aku tak baik-baik saja. Ia masuk ke kamar, memelukku dengan hangat dengan harapan anaknya bisa lebih baik. Sayangnya, aku tak akan membaik. Mungkin tak akan pernah.
***
Mengisi waktu libur dengan nonton drama korea di Netflix memang pilihan terbaik. Aku bisa bersantai depan televisi tanpa memikirkan urusan mengajar. Dan tentunya, terbebas dari laki-laki itu.
Ponselku tiba-tiba berdering. Ada panggilan masuk.
Irza.
Ada apa?
"Aku di depan rumah kamu," katanya ketika aku belum sempat mengucapkan kata halo.
Refleks aku mengenakan masker dan jilbab instan dengan pakaian yang ala kadarnya. Mengintip lewat jendela dan memperhatikan ternyata benar laki-laki itu sudah berada di balik pagar lengkap maskernya.
Dengan langkah ragu aku membukakan pagar setelah sebelumnya menyuruh dia untuk menjaga jarak. Ia mengikuti langkahku dan kami berdua duduk di kursi teras. Saling menghadap dengan jarak satu setengah meter.
"Mau aku buatkan minum?" tanyaku basa-basi.
"Nggak usah. Kita to the point aja, Nin," jawabnya dari balik masker. "Aku nggak perlu jauh-jauh ke sini kalau nggak ada hal penting, apalagi dalam situasi pandemi gini."
Aku hanya menatapnya sesekali tanpa memberi jawaban apapun.
"That's okay kalau kamu nggak siap membawa hubungan kita ke arah yang serius. Aku akan tunggu."
"Masalahnya bukan sekadar itu, Za!"
"Ya terus apa?!" tanyanya dengan nada yang cukup tinggi. "Aku nggak suka teka-teki kayak gini! Kalau aku salah ya jawab!"
"Jelas salah karena selama ini kamu menyembunyikan fakta bahwa kamu punya tunangan!"
Air mata itu lagi-lagi keluar dari tempat persembunyiannya. Aku menarik napas, mencoba mengontrol emosi.
"Siapa Nisa?" tanyaku yang tak dijawab olehnya. "Siapa Nisa?!"
"Nin, aku sama Nisa itu-"
"Udah putus? Gitu, kan? Tapi kalian benar-benar putus ketika kamu menggantungkan hubungan sama dia bahkan sampai setengah tahun. Dan itu adalah jeda di mana kita mulai dekat!"
Irza tak berkutik. Mungkin dia pikir telah berhasil mengelabuiku dengan semua rahasia busuk ini. Bahkan tanpa akun Instagramnya yang sudah lama tak aktif, aku bisa tahu bahwa selama ini laki-laki yang berhasil membuatku nyaman ternyata telah bertunangan dengan seseorang.
"Kenapa sih, Za? Kenapa? Kamu pikir apa perasaan perempuan itu? Perasaan aku juga."
"Ini nggak seburuk yang kamu pikir, Nin."
"Ya aku nggak peduli! Kamu tetap jadi yang terjahat dalam cerita ini."
***
Malam itu aku menghapus percakapan bersama Irza di WhatsApp, termasuk beberapa foto tak penting yang kadang kita abadikan ketika sedang mengajar. Sulit pada awalnya. Tapi aku sadar bahwa ini adalah cara terbaik untuk benar-benar memulai hari baru tanpanya. Aku tahu tak akan semudah itu melupakan kenangan sederhana yang pernah kami lewati. Semua butuh proses, juga butuh waktu.
Malam itu, lagi-lagi aku menangis. Bukan hanya menangisi kepergiannya, tapi juga menangisi diri ini yang semudah itu terbawa perasaan. Masa lalu yang membuatku tak memiliki hubungan spesial bersama laki-laki lain ternyata membawaku pada satu harapan semu pada orang yang salah. Aku sadar, ini hanyalah fase kehidupan yang bisa dilalui seorang diri.
Nin, kita bisa mulai semua dari awal lagi, kan? Please - 20.31
You blocked this contact. Tap to unblock.
Aku terpaksa melakukan ini. Membatasi komunikasi dengan orang yang benar-benar membuatku kecewa. Aku rapuh, butuh waktu untuk benar-benar memulihkan diri.
Sebagai pelampiasan kesedihan tak berujung ini, aku memutar lagu dari playlist Spotify ponsel. Beberapa lagu KPOP menjadi pilihan untuk kunyanyikan meski kebanyakan tak tahu artinya.
Yang tak kuduga, Mama datang ketika aku sedang asyik menikmati kesendirian ini. Begitu musik dimatikan, Mama mengajakku ngobrol serius karena melihat kesedihanku akhir-akhir ini.
"Kebetulan Mama punya kenalan. Anaknya Tante Erna, teman sekolah Mama dulu itu, lho. Nih fotonya. Gimana?"
"Emm... gimana ya, Ma?" Aku malah balik bertanya sambil menahan tawa.
Lagi pula, aku  lebih membutuhkan sosok keluarga saat ini, daripada harus memikirkan soal asmara dan perjodohan.
Malam itu, sebelum benar-benar memilih untuk beristirahat, aku memeluk Mama. Aku tahu ia sangat peduli padaku sampai melakukan cara apapun agar anaknya bisa pulih dari luka ini.
"Makasih ya, Ma. Aku sayang Mama."
Memulihkan Rapuh - Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H