"Siapa Nisa?" tanyaku yang tak dijawab olehnya. "Siapa Nisa?!"
"Nin, aku sama Nisa itu-"
"Udah putus? Gitu, kan? Tapi kalian benar-benar putus ketika kamu menggantungkan hubungan sama dia bahkan sampai setengah tahun. Dan itu adalah jeda di mana kita mulai dekat!"
Irza tak berkutik. Mungkin dia pikir telah berhasil mengelabuiku dengan semua rahasia busuk ini. Bahkan tanpa akun Instagramnya yang sudah lama tak aktif, aku bisa tahu bahwa selama ini laki-laki yang berhasil membuatku nyaman ternyata telah bertunangan dengan seseorang.
"Kenapa sih, Za? Kenapa? Kamu pikir apa perasaan perempuan itu? Perasaan aku juga."
"Ini nggak seburuk yang kamu pikir, Nin."
"Ya aku nggak peduli! Kamu tetap jadi yang terjahat dalam cerita ini."
***
Malam itu aku menghapus percakapan bersama Irza di WhatsApp, termasuk beberapa foto tak penting yang kadang kita abadikan ketika sedang mengajar. Sulit pada awalnya. Tapi aku sadar bahwa ini adalah cara terbaik untuk benar-benar memulai hari baru tanpanya. Aku tahu tak akan semudah itu melupakan kenangan sederhana yang pernah kami lewati. Semua butuh proses, juga butuh waktu.
Malam itu, lagi-lagi aku menangis. Bukan hanya menangisi kepergiannya, tapi juga menangisi diri ini yang semudah itu terbawa perasaan. Masa lalu yang membuatku tak memiliki hubungan spesial bersama laki-laki lain ternyata membawaku pada satu harapan semu pada orang yang salah. Aku sadar, ini hanyalah fase kehidupan yang bisa dilalui seorang diri.
Nin, kita bisa mulai semua dari awal lagi, kan? Please - 20.31