Aku menarik napas panjang sebelum melanjutkan.
"Kamu bener mau serius sama aku?"
"Iya lah, Nin. Kita pernah bahas ini sebelumnya. Bahkan kalau bukan karena pandemi, aku udah ajak keluarga aku di Semarang untuk ketemu keluarga kamu di sana."
Jeda beberapa detik memisahkan kami. Lagi-lagi aku kehilangan kata-kata. Semua yang ada di pikiranku seolah terganti oleh air mata yang tiba-tiba saja mengalir.
"Kamu masih ragu, ya?" tanyanya. "Ya aku tahu kita memang belum terlalu lama kenal, bahkan kita mulai dekat sejak sama-sama ngajar. Wajar kalau kamu belum siap. Mungkin akunya yang terlalu buru-buru."
Telepon diputus oleh diriku sendiri. Aku tak sanggup menahan air mata ini lebih lama lagi. Bantal tidur menjadi sasaran emosiku. Aku menangis sejadi-jadinya pada malam itu. Sampai Mama sadar bahwa aku tak baik-baik saja. Ia masuk ke kamar, memelukku dengan hangat dengan harapan anaknya bisa lebih baik. Sayangnya, aku tak akan membaik. Mungkin tak akan pernah.
***
Mengisi waktu libur dengan nonton drama korea di Netflix memang pilihan terbaik. Aku bisa bersantai depan televisi tanpa memikirkan urusan mengajar. Dan tentunya, terbebas dari laki-laki itu.
Ponselku tiba-tiba berdering. Ada panggilan masuk.
Irza.
Ada apa?