Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teenlit | Cerita Coklat Valentine

15 November 2020   12:30 Diperbarui: 25 Januari 2022   17:13 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by miositoesbonito on pinterest

Perpustakaan sekolah menjadi tempat yang wajib dikunjungi oleh Alva dan Faris di waktu istirahat. Suasana di sana sepi, tidak seperti kantin yang saat ini pasti sedang dipenuhi oleh siswa-siswi berseragam putih abu. Maka ketika ada seseorang masuk ke sini, kehadirannya akan disadari oleh pengunjung perpustakaan lain. Faris yang semula terpaku pada layar ponsel kini sedikit kaget ketika perempuan seusianya masuk juga ke sini. Ia beranjak mencari Alva. Ketemu. Laki-laki berkacamata itu sedang membaca buku tebal di rak sebelah kiri sambil berdiri.

"Ada Stefani, Al!" seru Faris setengah berbisik.

Refleks Alva membuatnya menutup buku dan menyimpannya di tempat semula. Dari sudut rak yang cukup jauh dari tempat Stefani duduk saat ini, diam-diam Alva memperhatikan perempuan itu. Rambut panjangnya, paras cantiknya, juga kecerdasannya yang selalu jadi perwakilan sekolah untuk olimpiade.

"Udah, samperin aja sana," kata Faris setengah mendorong Alva.

Alva yang semula ragu kini perlahan membawa langkahnya mendekat ke arah Stefani yang sedang membaca buku fiksi. Dengan keringat dingin yang mulai bercucuran serta detak jantung yang bisa didengarnya sendiri, Alva memberanikan diri berdiri di depan perempuan itu.

"Ha-hai, Stef," kata Alva gugup. Ia masih berdiri, sedangkan lawan bicaranya tetap duduk menatapnya dengan sedikit bingung.

"Hai, Al."

"Minggu depan ada ulangan Ekonomi, kan? Udah belajar?"

Kini Setefani benar-benar bingung oleh ulah anak ini. Tapi ia berusaha untuk tetap tenang.

"Aku kan kelas IPA, Al. Ini udah awal semester dua, dan kamu lupa kalau kita beda jurusan?"

Saat itu juga rasanya Alva ingin meledakkan dirinya sendiri. Sementara itu dari kejauhan Faris menatap teman sekelasnya itu dengan perasaan miris.

***

"Lo coba bayangin kalau berhasil mendapatkan Stefani. Bintang kelas anak IPS dan sang diva olimpiade resmi jadian. Ini akan viral dan punya sejarah tersendiri buat sekolah kita."

"Lebay, ah," jawab Alva malas sambil berbaring di tempat tidurnya.

Alva masih tak kuasa mengingat kejadian tadi yang benar-benar membuatnya malu. Ia pikir Stefani masih jadi teman sekelasnya, sama ketika mereka duduk di kelas 3 SMP. Tapi sayangnya kini seragam sudah berubah, yang juga memisahkan keduanya pada kelas dan jurusan berbeda namun tetap di sekolah yang sama.

Faris yang sudah melepas kemeja sekolahnya dan hanya mengenakan kaos putih polos, kini terpaku kembali pada layar ponsel. Apalagi ia tahu bahwa Alva memasang wifi di rumahnya. Streaming YouTube pun menjadi pilihan untuk menonton film-film pendek favoritnya.

Lama mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Sampai pada satu titik, Faris menyadari sesuatu.

"Al, kasih dia sesuatu aja biar dia ngerasa jadi orang spesial buat lo."

"Kasih apaan? Ulang tahunnya aja masih lama."

"Lo lupa tiga hari lagi valentine?"

***

Berbekal dengan uang jajannya yang tak seberapa, Alva membeli sekotak coklat di minimarket dekat sekolahnya. Coklat spesial valentine itu dikemas dengan cantik. Berbungkus love warna merah yang isi coklatnya kecil-kecil dengan bentuk yang bervariasi. Rencananya ia akan menaruh coklat tersebut di motor Stefani ketika pulang sekolah dan menaruh kartu ucapan di sana.

"Lo yakin ini ide bagus?" tanya Alva saat mereka sudah berada di parkiran. Untungnya suasana belum terlalu ramai.

"Percaya sama gue. Stefani pasti akan langsung jatuh hati," jawab Faris penuh percaya diri.

Maka, rencana mereka mulai berjalan. Alva diam-diam telah menaruh coklat yang dibelinya tadi di motor matic milik Stefani. Sementara itu Faris tetap menunggu di parkiran sambil mengawasi perempuan itu. Ya hanya sekadar berjaga agar coklat itu bisa diterima langsung ke yang bersangkutan.

Berselang beberapa menit, Stefani datang dan menyadari ada sesuatu di motornya. Ia sadar bahwa ini adalah hari valentine dan seseorang telah memberinya coklat. Sekilas ia melihat ke dalam bungkusannya, berharap ada petunjuk siapa yang mengirimkannya. Tapi, ia tak menemukan apa-apa.

Di waktu bersamaan, Faris yang masih mengawasi Stefani mendapat chat dari Alva.

Sial, kartu ucapannya ketinggalan.

Lagi-lagi, sobatnya itu melakukan kecerobahan fatal.

***

Seminggu setelah rencana yang gagal itu, Alva sedikit kehilangan semangatnya. Ia tak berani mengontak Stefani untuk mengonfirmasi soal coklat valentine yang ada di motornya. Alva juga jadi jarang ke perpustakaan karena pasti akan terus melihat Stefani di sana. Ia lebih memilih nongkrong di kantin sekolah bersama siswa lain yang bergerombol. 

Faris mencoba memberinya pengertian bahwa perjalanan masih panjang dan kesempatan mendapatkan Stefani pun belum hilang. Tapi Alva hanya tersenyum, seakan mengatakan bahwa perjuangan sudah selesai.

Puncaknya ketika pulang sekolah di hari Selasa, ia melihat Stefani dijemput seseorang di gerbang sekolah. Diam-diam Alva memperhatikan keduanya dari kejauhan. Itu Andrean, anak kelas 12 yang juga kakak kelasnya di sini. Alva sama sekali tak tahu bahwa keduanya punya kedekatan sampai Stefani harus dijemput segala.

Ia melihat Andrean dengan mesra mengacak-acak rambut Stefani, lalu memasangkan helm pada kepala gadis itu. Hingga beberapa saat kemudian, keduanya sudah pergi dengan motor besar yang dikendarai Andrean.

Dengan perasaan tak karuan, bahkan hingga menahan tangis, Alva beralih ke parkiran tempat motornya di simpan. Di sana ia bertemu Faris yang juga akan mengambil kendaraannya. 

"Lo kenapa, Al? Kayak yang galau gitu."

Awalnya Alva tidak menjawab pertanyaan itu. Ia merasa cukup memendamnya sendirian. Sampai pada satu titik dengan emosi yang memuncak, laki-laki berkacamata itu mendekat ke arah Faris.

"Ini nggak akan terjadi kalau lo terobsesi bikin gue jadian sama Stefani," kata Alva dengan nada tinggi.

"Wow, wow, tenang. Ada apa, nih?"

"Sejak awal harusnya lo nggak perlu bantu gue. Sejak awal, gue belum siap untuk mengungkap perasaan ini. Tapi lo terus-terusan maksa. Akhirnya apa? Rencana berantakan! Bahkan sekarang gue lihat Stefani jalan sama cowok lain."

Faris membiarkan Alva meluapkan semua amarahnya. Hingga ketika laki-laki itu mulai bisa mengontrol diri, Faris meletakkan tangannya di pundak sobatnya itu.

"Sori ya kalau gue bikin semuanya jadi kacau. Gue cuma mau bantu lo aja kok. Gue pernah ditolak dua kali waktu semester 1. Tahu sendiri lah gimana ceritanya. Gue nggak mau lo mengalami hal yang sama. Sekali lagi, sori. Niat gue baik kok."

Dari sana, Faris meninggalkan Alva. Ia tahu bahwa Alva membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Tanpa dirinya.

***

Hari ini Faris tidak masuk sekolah. Alasannya sakit. Tapi laki-laki itu sama sekali tidak mengatakan apa-apa pada Alva. Apa ia marah sampai tidak mengabari untuk hal sepele seperti ini? Padahal apapun itu, biasanya ia selalu berbagi cerita pada Alva, bahkan untuk hal yang tidak penting sekalipun. Alva tahu bahwa kemarin ia benar-benar keterlaluan.

Di kelasnya sebelum guru datang, Alva ingat menyimpan buku tulisnya di kolong meja dan lupa dibawa kemarin. Maka ia menundukkan kepalanya ke arah bawah meja untuk menemukan apa yang dicari. Memang ketemu, tapi ada satu hal yang janggal. Sebungkus coklat bernuansa putih ia ambil dari sana. Dari siapa ini?

Ada selembar surat yang ditulis di sana. Ia membacanya perlahan.

Hei, thanks buat coklat yang pernah kamu kasih waktu itu di motor aku. Rencananya, aku mau balas pemberian coklat itu di White Day 14 Maret nanti. Tapi, aku pikir itu terlalu lama. Apalagi aku jarang lihat kamu di perpustakaan.

Dari dulu kamu nggak berubah ya, selalu aja ceroboh. Aku tahu kalau pengirim coklat itu kamu karena nggak sengaja dengar percakapan kamu dan Faris tempo hari.

Kalau kamu nggak keberatan, aku tunggu kamu di perpustakaan. Mungkin kita bisa ngobrol ringan soal pelajaran. Ya meskipun memang jurusan kita beda.

Oh ya, semoga suka sama coklatnya.

See you,

Stefani

Saat itu juga ada senyuman yang terbentuk dari bibir Alva. Semangatnya seolah terisi penuh seketika. Maka, ia langsung menghubungi Faris.

GUE PUNYA KABAR BAIK!

***

Cerita Coklat Valentine - Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun