Hari itu masih sangat pagi. Matahari belum menampakkan diri, sementara langit terlihat begitu teduh. Langkah kaki Raina bergerak begitu cepat keluar kamar setelah menerima telepon dari seseorang. Nyawanya yang belum terkumpul sempurna memaksa ia naik ke lantai 4 bangunan indekosnya. Setelah menaiki tangga dan sampai di puncak, seseorang sedang menunggunya di sana.
Lantai 4 indekosnya hanya tempat rata yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian atau sekadar nongkrong untuk melihat langit secara langsung. Tempat ini pun bisa dijadikan sebagai tempat memandang kota dari ketinggian. Maka sambil menunggu matahari terbit, kedua orang itu masih di tempat yang sama. Saling berhadapan meski dengan jarak yang cukup jauh.
"Untuk apa sepagi ini kamu datang?" tanya Raina pada volume yang cukup tinggi agar terdengar jelas sampai ke orangnya.
Laki-laki itu sengaja mengenakan jaket jins yang menutup kedua lengannya, atau lebih tepatnya untuk menutup luka yang tergores di sana.Â
Tidak ada jawaban meski Raina sudah bertanya. Maka perlahan ia menedekat untuk mencari tahu langsung dari laki-laki yang masih mematung itu.
"Aku... mau pindah kampus, Na. Ke swasta."
Wajah Raina seketika mengerut. Tatapannya jadi tak bersahabat memandang lawan bicara yang hanya bisa menunduk.
"Kehadiran aku hanya... akan membuat keadaan kamu memburuk," lanjut laki-laki itu lagi.
Raina menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Cakra, konsepnya nggak seperti ini. Aku akan baik-baik saja dengan adanya kamu."
Laki-laki itu kemudian mengangkat lengan kiri Raina, memperjelas satu garis luka yang belum hilang di sana. Keduanya tidak akan lupa bagaimana dua minggu lalu Raina dengan sengaja melukai dirinya sendiri dengan silet tajam yang membuat darah segar bercucuran dari lengannya. Cakra panik, segera menelepon tetangganya yang juga jadi teman masa kecilnya dulu.