"Pakai ini," kata Cakra memberikan sweater rajut miliknya. "Perjalanan ke rumah kamu pakai motor kan jauh."
Dengan senang hati Raina menerima. Hanya saja, ia melihat sesuatu yang janggal. Karenya hanya memakai kaos pendek biasa, kedua lengan Cakra terlihat jelas penuh luka goresan. Seperti cakaran kucing, atau juga luka yang sengaja dibuat sendiri. Entahlah, Raina belum bisa mengambil kesimpulan.
Cakra yang melihat tatapan kebingungan Raina mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ojol pesanan kamu udah datang. Tuh."
Cerita lain terjadi pada saat Raina datang ke rumah Cakra untuk mengembalikan buku catatan yang dipinjamnya beberapa hari lalu. Ia mendapatkan alamat Cakra dari database mahasiswa kampus. Lagi pula, entah kenapa saat itu firasatnya sedikit tidak enak.
Sampai di pintu depan setelah mengetuk beberapa kali yang tak kunjung jawaban, Raina membuka pintu perlahan, lalu melirik rumah minimalis ini dari sudut mata.
"Aaarggh..."
Suara teriakan seseorang membawa Raina mendekat ke sumber salah satu ruangan. Saat itu juga, di kamar Cakra, ia melihat laki-laki itu melukai lengannya sendiri dengan silet. Keduanya bertatapan beberapa saat, namun Cakra memilih mengunci pintu dan membiarkan Raina mematung di luar kamar.
***
"Kalau kamu mau menghindar dari aku, bukan gini caranya. Ingat kata psikolog kamu, kamu butuh teman. Dan untuk itu aku ada di sini."
Cakra melihat tatapan yang begitu tulus dari mata Raina. Ia begitu baik telah menemani hidupnya selama setahun ke belakang ini. Tapi sejak kejadian Raina yang mengikuti langkahnya melukai diri sendiri, membuat Cakra semakin takut. Air mata itu. Teriakan itu semuanya masih terekam jelas dalam ingatan.