"Cakra, stop! Aku mohon stop!" seru Raina saat Cakra kumat. Di kamarnya, laki-laki itu mulai tak bisa mengontrol diri. Barang-barang berserakan di lantai, bahkan kini ia sudah memegang silet untuk melukai pergelangan tangannya.
"Cuma ini Na satu-satunya cara untuk menghilangkan beban dalam tubuh aku," jawab Cakra dengan suara bergetar.
"Oke kalau itu mau kamu."
Raina mengambil silet dari laci kamar Cakra. Ia mulai menyentuhkan benda tajam itu di pergelangan kirinya.
"Na, kamu ngapain?"
"Ini yang membuat kamu lega, kan?"
Tanpa mereka sadari satu sama lain, Raina sudah jatuh dengan kondisi darah yang mengalir deras. Mereka sama-sama terluka, tapi rasa sakit pada perasaan Cakra justru lebih dalam dari setiap goresan luka yang pernah dibuatnya.
"Aku nggak mau kamu terluka lagi," jawab Cakra kembali dari ruang nostalgia.Â
"Aku akan baik-baik aja. Percaya, deh," kata Raina menyentuh lembut bahu Cakra. "Aku akan ada di sini, menemani kamu dalam kondisi apapun. Aku juga janji nggak akan mengulangi kesalahan waktu itu."
Sinar matahari kini lebih terlihat sempurna, memandang dua insan yang tidak melepas tatap sejak pertemuan pagi ini. Tiupan angin sesekali menerpa keduanya, seakan ikut bahagia melihat senyum Raina yang disusul oleh senyuman Cakra.
"Kamu tahu apa yang butuhkan saat ini?" tanya Raina.