Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kembali Pada Asing

17 April 2020   12:51 Diperbarui: 17 April 2020   13:03 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by Fimela.com

Sekali lagi laki-laki itu menghela napas panjang ketika bertatap muka dengan wali kelas anaknya. Ditemani juga dengan seorang guru BP di ruangan khusus, empat orang itu kini tenggelam dalam kesenyapan. Tidak ada transaksi kata-kata. Hanya ada seorang siswa SMP yang tertunduk malu ketika tiga orang lainnya menatapnya secara bersamaan.

Di mobil ketika perjalanan pulang, laki-laki itu mengingat kembali ulah anaknya yang lagi-lagi membuat ia harus dipanggil ke sekolah, yaitu bolos dari kegiatan belajar hanya demi ikut kegiatan futsal yang waktunya bentrok dengan sekolah.

"Pak Banyu, ini sudah ketiga kalinya Rayan tidak masuk sekolah dengan alasan sakit, padahal ia mengikuti kegiatan futsal dengan anak sekolah lain," kata wali kelasnya saat itu.

"Kalau aku bilang ke Mama sama Papa, pasti nggak akan dapat izin!" jawab Rayan pada ayahnya itu di mobil, mengulang kembali kata-kata yang tadi sudah diucapkannya di sekolah.

"Cara kamu juga salah, Ray! Udah, biar nanti Mama yang akan memberi hukuman apa yang layak untuk kamu."

Anaknya yang berusia 13 itu hanya mengerutkan dahi memandang keluar jendela mobil. Ia tahu apa yang dilakukannya salah, dan harus siap menerima setiap konsekuensi yang ada.

Begitu sampai di depan rumah, hanya Rayan yang masuk ke sana. Banyu harus kembali lagi ke kantor dengan beberapa urusan pekerjaan yang belum diselesaikannya. Sebelum membawa mobil ini melaju di jalanan ibu kota, iya melihat layar ponsel pintarnya untuk beberapa detik.
Haruskah ia menghubungi orang itu?

***

"Pentas Seni?" sekali lagi Banyu memastikan. "Minggu lalu aku udah datang ke sekolah bertemu wali kelas dan guru BP Rayan. Apa iya kali ini harus aku lagi? Kenapa ga kamu aja?"

Di ruang kerjanya itu, Banyu mengomel sendirian melalui ponselnya. Beberapa rekan kerjanya yang lain sempat memperhatikan, meski setelahnya mereka berpura-pura tidak tahu.

Lima menit kemudian setelah berdebat cukup panjang, Banyu mematikan panggilan itu. Ia sempat terlihat banyak pikiran, hingga salah satu rekan kerjanya datang membawa segelas kopi.

"Santai bro, kali-kali lah quality time sama anak," kata Satria, rekan kerja yang usianya tidak jauh dari dirinya.

"Lo nggak tahu sih gimana rasanya udah punya keluarga. Pusing," jawab Banyu sambil menyesap kopinya.

"Suruh siapa dulu nikah muda? Hahaha."

"Bacot. Daripada harus jadi jomblo di umur 36, mending gua lah." Banyu berbalik menyindir Satria.

"Lo yang bacot!"

***

Acara pensi anak SMP zaman sekarang rasanya terlalu berlebihan jika dibandingkan pada zaman Banyu sekolah dulu. Rayan, anak satu-satunya yang merangkap sebagai panitia acara begitu sibuk mempersiapkan ini itu hingga sering pulang telat.

Tapi setidaknya perjuangan anaknya itu terbalas hari ini dalam sebuah panggung megah di lapangan sekolah, ditemani lampu sorot yang begitu berkilau menerangi malam, serta bintang tamu yang juga begitu ditunggu anak remaja masa kini. Suasana di lapangan dipadati oleh anak remaja seusia Rayan. Lagipula, selain siswa dari sekolahnya sendiri, ada juga beberapa siswa sekolah lain yang datang pada malam ini.

Sementara itu Banyu sebagai orang tua Rayan hanya duduk sendirian di sudut lapangan, menikmati beberapa menu sederhana yang biasa dijual oleh stand anak sekolahan. Ia melihat ke sekeliling untuk melihat orang tua siswa mana lagi yang datang. Tapi nyatanya, tidak sebanyak yang dia pikir.

"Orang tua nggak wajib datang, kok," kata Rayan yang tiba-tiba duduk di sampingnya.

"Terus kenapa kamu ngotot suruh Papa atau Mama datang?"

"Karena kalian sibuk. Maybe I just need a quality time."

Sempat berpandangan beberapa saat, Banyu langsung mengacak-acak rambut anaknya.

"Untuk kali ini Papa ikuti kemauan kamu."

Sebenarnya jika tidak ada yang tahu hubungan Banyu dan Rayan yang sebenarnya ayah dan anak, orang pasti mereka adalah adik kakak yang umurnya berbeda jauh. Bahkan ketika pertama kali datang ke sekolah karena Rayan berbuat ulah, wali kelasnya sempat ragu bahwa ia adalah ayah kandung Rayan.

Berbicara tentang wali kelasnya, Banyu teringat ada hal yang harus dibicarakan dengan guru itu.

"Cuma mau memastikan kamu nggak bolos lagi," kata Banyu memandang anaknya dengan senyum lain.

Maka, di kantin yang letaknya ada di belakang sekolah, Banyu bertemu dengan Reina, wali kelas Rayan yang usianya sudah menginjak angka 30.

"Ada yang bisa dibantu, Pak Banyu?" tanya Reina sopan.

***

"Aku lebih nyaman menjadi kita yang asing satu sama lain, tanpa perlu mengungkit cerita lama."
Kata-kata Reina barusan belum dijawab oleh Banyu. Mereka sama-sama tertunduk meski kini sedang duduk berhadapan di kantin sekolah yang tidak terlalu ramai.

Pada pertemuan pertama ketika Banyu datang ke sekolah menemuinya, Reina tahu bahwa orang itu adalah seseorang yang dulu sekali pernah mengisi hatinya. Tidak ada hubungan spesial sebenarnya. Hanya saja, saat mereka kuliah di kampus yang sama, Reina begitu mengagumi Banyu yang waktu itu menjadi ketua BEM.

Have a nice day --Reina, Pendidikan Bahasa

Begitulah surat kecil yang ia sisipkan lengkap dengan sebatang coklat. Dari sana pun Banyu sadar ada seseorang yang sedang menjadi penggemar rahasianya. Keduanya sesekali berpapasan di beberapa titik kampus. Hanya saling tersenyum tanpa berani mengucap kata.

"Ya mungkin sekitar dua tahun aku mengagumi seorang Bapak Banyu," katanya melanjutkan.

"Sampai akhirnya ketika selesai sidang, semua orang tahu bahwa aku menghamili anak orang. Itu kan kelanjutannya?" tanya Banyu santai sambil menjelajah nostalgia.

"Dan Rayan adalah..."

"Ya, dia anak kandung aku. Usia kami cuma beda sekitar 22 tahun."

"Dia memang mirip sih sama kamu. Nggak heran meski nakal, tapi mampu berpikir kritis juga."

"That's my boy, hahaha."

Selanjutnya, percakapan canggung itu mulai mencair hingga keduanya bisa saling tertawa lepas. Sesekali mereka mengenang masa-masa kuliah yang begitu memuakkan, atau juga cerita bagaimana pasang surut hubungan percintaan masing-masing.

"Calon suamiku sebentar lagi datang," kata Reina.

"Oh, oke. Nggak apa-apa kalau mau duluan."

Lima menit kemudian seseorang datang, mengecup kening Reina dengan lembut di depan Rayan. Dua laki-laki itu saling jabat tangan dan menyebutkan nama sebagai tanda perkenalan yang singkat. Tidak lama setelah itu, Reina pamit dengan menggandeng mesra tangan laki-laki tersebut.

"Saya duluan ya, Pak Banyu. Salam untuk Rayan."

Punggung Reina dan calon suaminya itu perlahan menjauh dan menghilang dari pandangan Banyu. Setidaknya ia mengerti sekarang bahwa menjadi asing adalah pilihan yang terbaik, terutama untuk menjaga perasaan pasangan masing-masing.

***

"Hari ini kamu nginep di rumah Papa aja. Tadi Mama juga udah kasih izin, kok," kata Banyu ketika ia dan anaknya dalam perjalanan pulang setelah acara Pensi tadi.

"Yes! Udah lama juga rasanya nggak nginep di sana."

Tidak apa-apa bukan hari ini saja ia menghabiskan waktu bersama anak semata wayangnya ini? Ya meskipun hak asuh anak sudah ditetapkan pengadilan bahwa Rayan akan dirawat dan dibesarkan oleh ibu yang melahirkannya.

Sementara itu di sisi lain pada waktu yang sama, Reina menerima telepon dari seseorang. Ia mengangkatnya sambil berbaring di kasur dengan kondisi wajah tertutup oleh sheet mask.

"Ada apa, Prasetyo?"

"Besok pura-pura jadi pacar aku, ya. Males nih ketemu keluarga besar. Pasti ditanya kapan kawin terus."

"Dadakan banget sih. Besok aku ngajar sampai sore."

"Lah, situ pikir tadi minta bantuan saya nggak dadakan? Kalau lokasi jauh mana mau deh repot-repot ke acara Pensi sekolahan cuma untuk pura-pura jadi calon suami."

"Oke. Besok jemput aja di tempat biasa. Bye!"

Telepon ditutup. Detik itu juga ada dua manusia yang berhasil membohongi keadaannya sendiri. Tentang siapa mereka sebenarnya, juga tentang sesuatu yang dipilih untuk tetap menjadi rahasia.

Kembali Pada Asing -- Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun