Walau harus menunggu seribu tahun lamanya...
"Sebentar, kamu Rasta, kan?" tanya Filia.
Aku tersenyum simpul, melepaskan kacamata, lalu menatapnya jahil.
"Akhirnya kamu sadar juga."
***
Aku ingat, tiga tahun lalu ketika masih tinggal di Bogor, di sebuah kafe yang buka hingga pukul 2 subuh, aku dan Filia bertemu, aku memutuskan hubungan kami secara sepihak. Filia terpukul, jelas. Tapi, bukan berarti aku kuat. Aku dilanda rasa bersalah untuk beberapa bulan pertama. Konsentrasiku ketika kerja buyar, membuat aku sering dimarahi atasan.
Bukannya aku tidak bisa menerima status dia yang single parent. Perkara umur pun bukan masalah. Ini hanya soal mental. Aku belum siap untuk menjadi pasangan hidupnya, terlebih harus menghidupi dua orang sekaligus.
Raut wajahnya jadi kaku. Musik Tulus yang sedang diputar seakan bukan jadi konsumsinya.
"Kabar Nuri gimana, Fil?" tanyaku pelan untuk mencairkan suasana.
"Baik," jawabnya tanpa menatapku.
"Aku kaget menemukan kamu secepat ini."