"Tentunya aku tidak memaksa."
"Aku pun tidak keberatan," jawabnya.
Setelah itu, kami berdiri di balkon kamar ini sembari melihat bagaimana suasana kota Bandung jika dilihat saat malam hari. Lampu-lampu seperti bintang di langit malam, kendaraan masih banyak berlalu-lalang di pusat perkotaan, dan angin malam bertiup lembut seakan datang tanpa diundang untuk menemani kami.
Dia melanjutkan ceritanya yang belum tuntas. Tentu, masih tentang tunangannya. Mereka berdua menjalin hubungan selama kurang lebih dua tahun dan rencananya tiga bulan lagi akan menikah. Tapi, takdir berkata lain. Masih ada rintangan berat yang mesti mereka hadapi.
Aku pun sedikit menceritakan mengenai lemahnya jantungku yang kualami sejak sekolah dasar. Ia memandang iba, padahal nyatanya aku masih baik-baik saja sampai saat ini. Ya, meskipun beberapa bulan sekali harus melakukan kontrol.
"Kamu sendiri udah punya pacar?" tanyanya tiba-tiba membelokkan topik.
"Punya..." jawabku santai. "...tiga hari yang lalu."
Lagi-lagi pandangan iba itu tersirat dari kedua matanya. I really don't like it.
"Pasti... rasanya sakit, ya? Apalagi jadi korban perselingkuhan."
"Apanya yang sakit? I'm fine."
"Ya hati kamu. Siapa yang nggak akan sakit hati ketika dirinya diduakan?" Kami malah saling menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.