Di sudut lain kota, nenek tumbang di tanah,
dua kali pingsan bulan ini.
"Itu cuma panas matahari," katanya.
Keringatnya menetes ke tanah keras,
ia bangkit lagi, tangannya menyeka wajah,
mengikuti bayangan tubuhnya yang memanjang.
Bayangan itu, satu-satunya yang bisa dia punya,
berjalan lurus ke ladang tak kasat mata.
Rumah beratap seng menunggu,
di dalamnya anak tiga tahun mengunyah debu.
Jakarta, pagi yang tak tahu malu,
menyembunyikan lapar di balik suara
gerinda besi dan mesin mobil tua.
Bapakku berdiri lagi, mengepal,
mencium sisa roti di ujung bibir.
Di lorong sempit, anak-anak menghilang,
hanya bayangannya yang ditinggalkan:
tipis, panjang, patah-patah,
seperti nama yang tak pernah sempat
disebut lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H