Di gang sempit, bapakku bersandar,
punggungnya melekat di dinding retak.
Anak-anak berkerumun:
celana gombrong, rambut kasar
tersorot cahaya redup.
"Tunjukkan tanganmu," sergah suara,
mencari apa saja, sisa roti mungkin,
atau koin pecahan yang tak sengaja jatuh.
Bapakku menatap sepatu compang-camping,
tahu air matanya tinggal tunggu waktu.
Nenek menjinjing perut besarnya,
menyusuri rel kereta di Manggarai.
Tangannya kurus, jari pucat keunguan,
langit pagi bersisik abu.
Ia menyumpal keroncongan dengan langkah;
"Bulan ini berat, tapi kita kuat," gumamnya.
Orang-orang berdesak di pasar gelap,
beras dijual di bawah meja.
Kau harus tahu bahasa silet atau bisikan.
Kakakku, Si Jigong, katanya;
bukan nama Jakarta, tapi itu yang ia bawa.
Ia jago lempar batu ke tikus selokan,
sekali kena, bau gosong dari api sampah
melingkupi dagingnya.
"Rasanya kayak ayam," bisiknya,
kita tertawa setengah bersalah, setengah lapar.
"Besok aku ke pusat kota," katanya,
orang-orang datang pakai jas lusuh,
menari poco-poco sampai jadi bintang.
Baca Juga: Mengupas Keheningan, Dunia Kecil dalam Puisi Imajis
Bapakku kecil, duduk di kasur kapuk,
jendela kayu terbuka sedikit.
Halaman belakang penuh kue lumpur,
dibentuk bulat seperti roti pagi hari Minggu.
Satu gigitan:
tanah itu menyentuh gigi seperti janji kosong.
"Si Jigong pasti tahu cara bikin yang enak,"
katanya. Tapi Jigong pergi.
Jalanan Jakarta tak punya tanda kembali,
hanya suara mesin dan langkah buru-buru.
Nenek memecahkan kantuk pagi,
jari tangannya menggali ke belakang piring seng.
Sepotong roti, sekeras genteng tua.
"Bapakmu dapat ini semalam," katanya,
kakek menjahit baju di emperan toko.
Tapi siapa butuh baju musim panas ini?
Orang-orang hanya cari soto murahan,
berharap keringat bisa ditukar semangkuk nasi.
Roti itu hidup:
keras, berdebu, tapi kita rayakan.
Nenek memberinya roti itu,
"Jangan keluar, main di halaman saja,"
katanya, tangan menggenggam perut.
Ia menyeberang jalan, bergabung
dengan ibu-ibu yang bekerja mencangkul
di proyek entah punya siapa.
Asap oli mengepul di kejauhan,
anak-anak lelaki dari gang sebelah
mengintip di celah pagar kayu.
Mereka lihat roti itu.
Baca Juga: Setelah Tarian Kembang Api
Lalu mereka datang.
Satu menendang pintu bambu,
dua menarik lengan bapakku kecil.
Roti lembab di tangannya direbut,
lidahnya masih mengecap sisa asin debu.
"Kami belum makan!" teriak seorang,
yang lain menangis, kakinya berdarah,
kuku hitam kotoran sisa minggu lalu.
Mereka berkelahi memperebutkan roti
yang tak tahu bagaimana dibagi.
Yang terkuat menang.
Ia menggigit habis seperti mimpi buruk.
Bapakku tertinggal, terlentang di lantai.
Sinar pagi mengetuk kusam kusen jendela,
suara pasar terdengar jauh:
teriakan penjual tahu dan ikan asin,
"Seribu tiga! Seribu tiga!"
Bapakku tak bergerak, hanya memandangi
dinding retak yang ditinggalkan nenek.
"Mungkin nanti malam ada lagi," pikirnya.
Di sudut lain kota, nenek tumbang di tanah,
dua kali pingsan bulan ini.
"Itu cuma panas matahari," katanya.
Keringatnya menetes ke tanah keras,
ia bangkit lagi, tangannya menyeka wajah,
mengikuti bayangan tubuhnya yang memanjang.
Bayangan itu, satu-satunya yang bisa dia punya,
berjalan lurus ke ladang tak kasat mata.
Rumah beratap seng menunggu,
di dalamnya anak tiga tahun mengunyah debu.
Jakarta, pagi yang tak tahu malu,
menyembunyikan lapar di balik suara
gerinda besi dan mesin mobil tua.
Bapakku berdiri lagi, mengepal,
mencium sisa roti di ujung bibir.
Di lorong sempit, anak-anak menghilang,
hanya bayangannya yang ditinggalkan:
tipis, panjang, patah-patah,
seperti nama yang tak pernah sempat
disebut lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H