1
Ayah bicara soal Tuhan dan lubang-lubang
yang tak pernah penuh,
kata-kata memanjang seperti bayang-bayang sore,
menggapai ketinggian yang tidak terlihat.
Aku duduk di sini, mendengar gelap
menyebut namanya sendiri.
2
Kesendirian punya suara,
seperti desahan air dalam,
atau dengung pohon di hutan
yang lupa siapa mereka sebelum malam datang.
Aku takut pada lorong-lorong ini,
bukan karena gelap,
tapi karena aku tahu: aku bagian darinya.
3
Malam menyulam mimpi buruk,
langitnya berlapis keheningan
yang berat seperti kain basah.
Tapi bukan malam yang menakutkan,
melainkan bayangan yang menolak
mengingat cahayanya sendiri.
Apa itu gelap, jika bukan sesuatu yang lemah?
4
Aku berpikir, kita hanyalah suku-suku kecil
yang berjalan di garis tipis
antara kehampaan dan keinginan.
Matahari sore menjadi getaran,
perlahan tenggelam dalam warisan leluhur
yang lupa nama kita. Namun, pikiranku mulai jernih:
kita adalah mereka yang lupa melambat.
5
Musim panas ini, aku melihat keinginan
menjadi wajah yang pudar di cermin.
Aku bisa menyerah padanya,
membiarkan bentuk-bentuk itu
tumbuh sebesar dunia, tapi siapa
yang akan tetap tinggal di bangku kayu ini?
Siapa yang akan duduk, dan belajar
mendengar gelap tanpa perlu melawannya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI