1. Â
Di tengah pagi yang berembun,
ia berdiri dengan senapan tua,
matanya seperti matahari terbit;
tajam, penuh janji.
Seekor burung puyuh melesat,
sayapnya membelah udara dingin,
dan dengan satu tembakan,
ia menjatuhkan keangkuhan alam. Â
2.
"Lihat, ini bukan soal membunuh," katanya, Â
"tapi soal memahami;
burung itu tahu kapan harus terbang,
dan aku tahu kapan harus menembak." Â
Tangan tuanya, kasar seperti kulit kayu,
mengangkat burung kecil itu,
seperti memegang rahasia dunia. Â
3.
Aku bersembunyi di semak belukar,
mengumpulkan kelinci-kelinci liar
yang gemetar seperti aku.
Di kejauhan, kudengar napas kuda Gadingmas,
ritmenya seperti detak waktu.
Kakek menungganginya dengan anggun, Â
menari di pelana seperti badai kecil. Â
4.
"Jangan pikir kakek cuma tua," katanya, Â
"dalam darahku, ada jejak serigala."
Ia melompat dari pelana,
senapan di tangan,
mata tertutup, namun pelurunya
menemukan sasaran seolah dituntun takdir.
Aku hanya bisa menganga. Â
5.
Di bawah bayang-bayang pohon tua,
aku bertanya apa maksud semua ini.
Kakek tertawa, suaranya seperti angin.
"Pelajaran bukan soal jawaban,
tapi keberanian menghadapi dunia."
Ia melesat pergi, meninggalkan jejak Â
yang bergetar di tanah;
sebuah legenda yang tetap hidup.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H