Dia turun dari bukit yang pecah, Â
dari batu yang tergerus angin, Â
dari pohon ek yang tak lagi hijau, Â
dari semak yang kelaparan. Â
Langkahnya pelan, memeluk debu yang Â
terbang mengikuti bayangannya. Â
Di bawah langit yang begitu besar, Â
dia melintasi jejak-jejak sunyi--- Â
ranting yang menggaruk kulitnya, Â
rumput yang layu, Â
badai kecil yang tak terdengar. Â
Di sana, di antara pohon dan tanah, Â
dia merasakan adanya sesuatu, Â
sesuatu yang tak bisa dipegang. Â
Di bawah langit yang tak ada suaranya, Â
rusa terperangkap, terengah-engah. Â
Mereka berdua, dia dan rusa, Â
berhadapan dengan nasib yang Â
tak bisa diputar balik. Â
Tapi dia menunda, menatapnya Â
dengan mata yang tak pernah berhenti Â
memahami, walau tak bisa berkata. Â
Dia menuruni tepi sungai yang surut, Â
melintasi jejak-jejak yang ditinggalkan Â
oleh binatang malam. Â
Kaktus berdiri kaku, Â
seperti pertanyaan yang terus menunggu Â
jawaban, yang tak pernah datang. Â
Di sana, di bawah pohon yang saling menyembunyikan bayangan, Â
dia berusaha menemukan diri yang hilang. Â
Di antara capung dan bunga liar Â
yang melayang di udara, Â
dia merasa sesuatu bergerak, Â
sesuatu yang lebih besar dari semua ini, Â
yang mengubah arah angin, Â
yang menyentuh kulitnya tanpa suara. Â
Tuhan kembali ke dalam tubuhnya, Â
kembali ke tempat yang tak pernah ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H