Mohon tunggu...
Muhammad Gilang Hermawan
Muhammad Gilang Hermawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa S-1 Perencanaan Wilayah dan & Kota, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tren Speeding sebagai Sarana Pelampiasan Sakit Hati

5 Desember 2024   10:20 Diperbarui: 5 Desember 2024   10:43 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, manusia kerap dihadapkan pada berbagai bentuk

tekanan emosional. Salah satu kondisi emosional yang sering dialami adalah sakit hati, baik karena

putus cinta, masalah keluarga, maupun kegagalan dalam kehidupan pribadi. Seiring dengan

meningkatnya stres, sejumlah orang mencari pelampiasan untuk melepaskan rasa sakit hati. Salah satu

tren yang kini muncul di kalangan anak muda adalah "speeding" atau berkendara dengan kecepatan

tinggi. Meski kegiatan ini dianggap bisa memberi kepuasan instan dan perasaan bebas, namun juga

menimbulkan dampak yang perlu diwaspadai.

Speeding, atau berkendara cepat di atas batas normal, seringkali dilakukan untuk mengalihkan

pikiran dari perasaan sakit hati. Dalam situasi seperti ini, kecepatan seakan-akan memberi sensasi

kebebasan yang menutupi rasa sakit dan melupakan masalah sejenak. Bagi sebagian orang, melaju

kencang di jalan raya dengan sepeda motor atau mobil seakan memberi efek adrenalin yang

menenangkan, karena fokus mereka teralihkan dari rasa emosional yang sedang dialami ke aksi

berkendara itu sendiri. Aktivitas ini memberikan ruang bagi mereka untuk melepaskan beban mental

yang berat, meskipun hanya sementara.

Selain itu, media sosial turut berperan dalam menjadikan speeding sebagai tren populer.

Banyak orang yang membagikan momen mereka saat melaju cepat di jalan raya di platform seperti

Instagram atau TikTok. Video-video ini, meski memberikan hiburan bagi sebagian orang, juga dapat

menjadi contoh negatif dan mendorong lebih banyak orang untuk mencoba hal serupa, bahkan tanpa

pertimbangan keselamatan yang memadai. Pada akhirnya, perilaku ini bisa memperkuat budaya

"speeding" sebagai bentuk pelampiasan, meskipun berisiko tinggi.

Di sisi lain, tren speeding sebagai sarana pelampiasan sakit hati juga memiliki sejumlah risiko

yang perlu disadari. Berkendara dengan kecepatan tinggi sangat berbahaya, terutama jika dilakukan di

jalan raya yang padat atau tanpa perlengkapan keselamatan yang memadai. Speeding meningkatkan

risiko kecelakaan fatal yang tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga pengguna jalan lain.

Banyak laporan tentang kecelakaan lalu lintas yang terjadi akibat pengendara tidak bisa mengontrol

kendaraan saat mencapai kecepatan tinggi. Oleh karena itu, perilaku ini tak jarang menjadi penyebab

kerugian yang besar, baik secara fisik maupun mental.

Lebih dari sekadar risiko fisik, speeding sebagai pelampiasan sakit hati juga menunjukkan

bahwa seseorang tidak mengatasi emosinya dengan cara yang sehat. Mengandalkan adrenalin untuk

melupakan rasa sakit hati bukanlah solusi jangka panjang dan cenderung memperparah keadaan

emosional. Alih-alih memberikan rasa lega, speeding hanya memberi efek sementara yang membuat

seseorang melupakan masalah tanpa benar-benar menyelesaikannya. Mengatasi sakit hati seharusnya

dilakukan dengan pendekatan yang lebih positif, seperti berbicara dengan teman atau melakukan hobi

yang bisa menenangkan pikiran.

Meskipun speeding kerap dipandang sebagai pelampiasan dari rasa sakit hati, kegiatan ini

lebih banyak membawa risiko daripada manfaat. Sensasi kebebasan yang dirasakan saat melaju cepat

hanyalah pelarian sementara yang berpotensi membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Maka,

penting bagi kita untuk mempertimbangkan bentuk pelampiasan yang lebih sehat dan konstruktif saat

menghadapi sakit hati, agar emosi tersebut dapat diolah dengan baik tanpa harus mempertaruhkan

keselamatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun