Dalam kehidupan modern yang serba cepat, manusia kerap dihadapkan pada berbagai bentuk
tekanan emosional. Salah satu kondisi emosional yang sering dialami adalah sakit hati, baik karena
putus cinta, masalah keluarga, maupun kegagalan dalam kehidupan pribadi. Seiring dengan
meningkatnya stres, sejumlah orang mencari pelampiasan untuk melepaskan rasa sakit hati. Salah satu
tren yang kini muncul di kalangan anak muda adalah "speeding" atau berkendara dengan kecepatan
tinggi. Meski kegiatan ini dianggap bisa memberi kepuasan instan dan perasaan bebas, namun juga
menimbulkan dampak yang perlu diwaspadai.
Speeding, atau berkendara cepat di atas batas normal, seringkali dilakukan untuk mengalihkan
pikiran dari perasaan sakit hati. Dalam situasi seperti ini, kecepatan seakan-akan memberi sensasi
kebebasan yang menutupi rasa sakit dan melupakan masalah sejenak. Bagi sebagian orang, melaju
kencang di jalan raya dengan sepeda motor atau mobil seakan memberi efek adrenalin yang
menenangkan, karena fokus mereka teralihkan dari rasa emosional yang sedang dialami ke aksi
berkendara itu sendiri. Aktivitas ini memberikan ruang bagi mereka untuk melepaskan beban mental
yang berat, meskipun hanya sementara.
Selain itu, media sosial turut berperan dalam menjadikan speeding sebagai tren populer.
Banyak orang yang membagikan momen mereka saat melaju cepat di jalan raya di platform seperti
Instagram atau TikTok. Video-video ini, meski memberikan hiburan bagi sebagian orang, juga dapat
menjadi contoh negatif dan mendorong lebih banyak orang untuk mencoba hal serupa, bahkan tanpa
pertimbangan keselamatan yang memadai. Pada akhirnya, perilaku ini bisa memperkuat budaya
"speeding" sebagai bentuk pelampiasan, meskipun berisiko tinggi.
Di sisi lain, tren speeding sebagai sarana pelampiasan sakit hati juga memiliki sejumlah risiko
yang perlu disadari. Berkendara dengan kecepatan tinggi sangat berbahaya, terutama jika dilakukan di
jalan raya yang padat atau tanpa perlengkapan keselamatan yang memadai. Speeding meningkatkan
risiko kecelakaan fatal yang tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga pengguna jalan lain.
Banyak laporan tentang kecelakaan lalu lintas yang terjadi akibat pengendara tidak bisa mengontrol
kendaraan saat mencapai kecepatan tinggi. Oleh karena itu, perilaku ini tak jarang menjadi penyebab
kerugian yang besar, baik secara fisik maupun mental.
Lebih dari sekadar risiko fisik, speeding sebagai pelampiasan sakit hati juga menunjukkan
bahwa seseorang tidak mengatasi emosinya dengan cara yang sehat. Mengandalkan adrenalin untuk
melupakan rasa sakit hati bukanlah solusi jangka panjang dan cenderung memperparah keadaan
emosional. Alih-alih memberikan rasa lega, speeding hanya memberi efek sementara yang membuat
seseorang melupakan masalah tanpa benar-benar menyelesaikannya. Mengatasi sakit hati seharusnya
dilakukan dengan pendekatan yang lebih positif, seperti berbicara dengan teman atau melakukan hobi
yang bisa menenangkan pikiran.
Meskipun speeding kerap dipandang sebagai pelampiasan dari rasa sakit hati, kegiatan ini
lebih banyak membawa risiko daripada manfaat. Sensasi kebebasan yang dirasakan saat melaju cepat
hanyalah pelarian sementara yang berpotensi membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Maka,
penting bagi kita untuk mempertimbangkan bentuk pelampiasan yang lebih sehat dan konstruktif saat
menghadapi sakit hati, agar emosi tersebut dapat diolah dengan baik tanpa harus mempertaruhkan
keselamatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H