Penantian publik akhirnya terjawab sudah. Setelah beberapa waktu lalu sempat menanti dan menerka-nerka, publik akhirnya mendapat jawaban pasti tentang siapa saja sosok yang dipilih Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengisi posisi menteri di kabinetnya yang baru.
Rabu (23/10) lalu, sekitar jam 08.30 pagi bertempat di Istana Negara Jakarta, Jokowi bersama wakilnya di periode kedua ini, KH Ma`aruf Amin, memperkenalkan serta melantik 38 sosok yang telah terpilih untuk menjadi menteri pada Kabinet Jilid II-nya.
Muka-muka baru pun menghiasi sebagian besar daftar menteri yang terpilih. Tetapi Jokowi mencoba mempertahankan dan memberikan kepercayaan kembali kepada beberapa muka lama yang dinilainya cukup bagus dan mampu menjalankan tugas sesuai dengan visi-misinya.
Lantas bagaimana tanggapan publik ? Reaksi pun terbelah. Ada yang terkejut ada juga yang sudah memprediksikannya. Ada yang merasa puas tapi tak sedikit yang menyayangkan keputusan  Jokowi tersebut.
Maka tak ayal bila beberapa pihak menganggap kabinet yang dibentuk Jokowi ini belum final. Dengan kata lain masih coba-coa (kabinet coba-coba). Jokowi pun diprediksi akan melakukan beberapa reshuffle kedepan.
Hal ini disebabkan karena ada beberapa sosok yang dipilih Jokowi memiliki catatan hitam dan track record  cukup buruk dalam kiprahnya di dunia politik. Tidak hanya itu, beberapa sosok tersebut juga dianggap salah tempat dan tidak dapat memenuhi ekspektasi di mata publik.
Sebagian publik pun  merasa bahwa ada beberapa sosok yang pernah menjabat di Kabinet Jokowi sebelumnya mempunyai kinerja yang bagus, tetapi tidak dipilih lagi di periode kali ini.
Tak heran jika tidak sedikit publik setelah mengetahui hal tersebut merasa khawatir dan underestimate terhadap beberapa menteri yang telah dipilih Jokowi.
Kekhawatiran publik tentu saja tidak bisa disalahkan, justru sikap underestimate tersebut menandakan  publik sangat menaruh harapan besar terhadap Jokowi beserta menteri-menterinya yang baru untuk bekerja secara maksimal.
Selain kondisi negeri yang sedang dilanda banyak persoalan seperti demokrasi, hukum, ekonomi, pertanian, HAM, korupsi, pertahanan dan lainnya. Â Publik menginginkan sosok yang benar-benar dapat bekerja secara konkret memberikan solusi atas persoalan yang terjadi. Bukan sekedar bagi-bagi kekuasaan kepada partai-partai politik yang selama ini mendukungnya.
Bagi publik, posisi menteri tidak sekedar kursi kosong belaka, tetapi jabatan strategis untuk membantu Jokowi dalam memberikan strategi-strategi jitu menyelesaikan persoalan yang terjadi selama ini. Menteri merupakan bidak catur Jokowi dalam menjalankan program-programnya, sehingga roda pemerintahan berjalan lancar.
Kendati demikian ada sebagian pihak menganggap, penyusunan Kabinet Jilid II, Jokowi lebih matang dibandingkan periode sebelumnya.. Hal ini tak lepas dari sejumlah background figur yang dipilih dan dipercayainya sangat kapabel dibidangnya.
 Publik bisa melihat lebih dalam, di mana  beberapa pos menteri diisi oleh orang orang yang dianggap mampu menterjemahkan dengan baik misi dan visi Jokowi. Terhadap figur- figur ini Jokowi sangat respek dan menugaskan mereka untuk  bekerja maksimal dibidangnya masing-masing sesuai dengan garis yang diinginkan Jokowi. Â
Sebut saja di Bidang Pendidikan, Kebudayaan, dan Pendidikan Tinggi (Dikti) yang diisi oleh Nadiem Anwar Makariem, Founder sekaligus mantan CEO Gojek Indonesia, perusahaan startup yang memperoleh predikat decacorn.
Cukup mengejutkan memang, posisi bidang tersebut diisi oleh seorang entrepreneur muda yang sebagian publik menganggap tidak memiliki banyak pengalaman di pos tersebut. Bahkan sebagian publik menilai Nadiem Anwar bukan seseorang yang benar-benar ahli di dunia pendidikan. Terlebih lagi usia Nadiem masih sangat muda dan belum teruji. Jadi wajar jika muncul pertanyaan dari publik, Â mampu dan kapabebelkah Nadiem mengemban tugasnya tersebut?
Pertanyaan dana kekhawatiran publik sah sah saja, tapi Jokowi memilih Nadiem tentu saja bukan tanpa alasan. Selain background pendidikannya -- lulusan Harvard Business University--, pria 35 tahun ini telah mencuri hati Jokowi lewat kerja nyatanya, yaitu menciptkan dan mengembangkan Gojek menjadi perusahaan besar hingga dapat membantu perekonomian masyarakat.
Dengan dipilihnya Nadiem dalam pos tersebut, agaknya, Jokowi ingin membuat sebuah dobrakan besar dengan mengubah dan merancang sistem pendidikan Indonesia kearah teknologi. Sehingga dapat menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas yang mampu bersaing di pasar dunia.
Selain itu, nampaknya Jokowi ingin merancang dan mencetak entrepreneur muda sebanyak banyaknya seperti Nadiem. Tentunya dengan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan dikemudian hari melalui, jalur kurikulum pendidikan yang berbasis atau mengarah ke entrepreneurship. Ini semua sesuai dengan Visi-Misi Jokowi.
Sama seperti Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Pendidikan Tinggi (Mendikbud-Dikti), untuk posisi Menteri Pertahanan dan Menteri Agama terkesan lebih mengejutkan. Pada dua posisi tersebut, Jokowi memilih Prabowo Subianto dan Fachrul Rozi untuk masing-masing mengisi posisi tersebut.
Masuknya nama Prabowo dalam jajaran Kabinet Jokowi Jilid II sangatlah tidak terduga. Pasalnya, Prabowo merupakan rival Jokowi di dua penyelenggaraan Pilpres, yaitu 2014 dan 2019 yang kesemuanya dimenangkan Jokowi. Akan tetapi agaknya Jokowi memiliki alasan tertentu memilih Prabowo untuk bergabung dikabinetnya.
Tidak hanya dari hasil lobi-lobi rekonsiliasi, figur Prabowo dinilai cocok untuk mengisi posisi tersebut. Kiprahnya di dunia militer yang terbilang  cemerlang membuat dirinya mengenal betul kondisi kemiliteran dan pertahanan Indonesia.
Ditambah lagi saat debat Pilpres 2019 lalu, Prabowo sangat menguasai bidang tersebut dengan mengungkapkan secara fasih perihal permasalahan yang terjadi di kemiliteran. Apalagi konon ia juga pernah melatih pasukan militer Jordania, Palestina dan Brunei. Maka keahlian Prabowo dalam menjaga pertahanan dan mengelola militer tak lagi diragukan.
Di sisi lain, bergabungnya Prabowo merupakan kelihaian Jokowi dalam bermain catur perpolitikan. Betapa tidak, dari rival menjadi kawan Jokowi mampu meluluhkan hati Prabowo sehingga dia mau bergabung bersamanya.
Diplotnya Prabowo di posisi Menhan nampaknya juga merupakan strategi Jokowi untuk menangkal dan meminimalisir radikalisme yang dinilai menggerogoti stabilitas negara, sehingga mengganggu keamanan serta investasi negeri ini.
Selain itu Prabowo sebagai Menhan sama halnya memposisikan beliau untuk berhadapan sekaligus melunakan para  mantan pendukungnya dari organisasi masyarakat (ormas) garis keras yang sebagian pihak menilaianya radikal. Bahkan ada dari mereka oleh beberapa pihak dianggap ingin  mengubah Ideologi NKRI.
Dengan kondisi seperti ini diharapkan Prabowo  mampu melunakkan mereka, sekaligus menjaga ormas-ormas garis keras tersebut lebih soft. Kedepannya diharap mereka tidak melakukan hal hal yang dapat mengganggu stabiliasasi negara. Dengan demikia investasi negara pun dapat berkembang sesuai apa yang menjadi visi misi Jokowi.
Sementara untuk  Menag sendiri, Jokowi mencoba keluar dari tradisi, dengan menyerahkan posisi strategis tersebut kepada kalangan militer yaitu Fachrul Rozi dan bukan  pada kalangan Nadliyin seperti biasanya yang notabene ormas keagamaan terbesar di Indonesia.
Hal ini juga merupakan salah satu strategi Jokowi dalam menghadapi, menangkal dan meminimalisir radikalisme yang mengatasnamakan salah satu agama di Indonesia. Dengan dipegangnya Menag oleh kalangan militer, diharapkan program deradikalisasi dapat lebih berjalan efektif daripada sebelumnya..
Maka dari itu, tak heran bila kalangan militer diharapkan mampi menjalankan program deradikalisme yang efektif dibandingkan non militer. Alasan lainnya adalah, kebanyakan orang yang berasal dari militer mempunyai manajerial yang baik di semua bidang dan itu  tidak lagi disangsikan dan sudah terbukti. Inilah yang menjadi alasan Jokowi, sehingga program-program di kementerian Agama akan dapat berjalan efektif lebih baik dari sebelumnya.
Itulah yang menjadi alasan mengapa Jokowi memilih Fachrul Rozi untuk mengisi pos tersebut. Apalagi karir terakhir Fahrul Rozi di bidang militer adalah Wakil Panglima TNI. Tentunya Fahrul Rozi dianggap paham tentang cara-cara mencegah radikalisme yang akhir-akhir ini oleh sebagian kalangan menganggap bibitnya sudah berkembang pesat di Indonesia.Â
Bahkan tanda-tanda itu banyak terlihat, melalui  perekrutannya yang masif di kalangan bawah atau akar rumput, sehingga menciptakan rasa khawatir di kalangan masyarakat.
Meski demikian bukan berarti hal ini tidak menimbulkan tanda tanya besar dari sebagian pihak. Bahkan ditunjuknya Menag dari kalangan militer, Jokowi dianggap seperti sedang melakukan perjudian besar. Mengapa ? Tugas dan kewajiban Menag tentunya tidak hanya berkutat pada penangkalan radikalisme semata. Tetapi lebih luas lagi, yakni berhubungan dengan umat agama di negeri ini.
Tapi itulah Jokowi. Dia selain cerdas juga bisa membaca keadaan. Jokowi  memiliki strategi lain yaitu mencoba mensinergikan antara Fachrul Rozi dengan Wakil Presiden KH Ma`aruf Amin. Jokowi mengharapkan Fachrul Rozi dapat menimba Ilmu dari KH Ma`aruf Amin tokoh agama yang berasal dari kalangan Nadliyin  tentang pokok-pokok persoalan yang berhubungan dengan kerukunan umat beragama, haji, pesantren, ekonomi umat.
Selain tiga posisi dan sosok di atas, Jokowi juga memberikan beberapa posisi vital dalam kabinetnya kepada beberapa muka lama yang pernah berada di Kabinet Jokowi sebelumnya, untuk dapat menyukseskan visi-misinya di periode kedua
Muka-muka lama tersebut antara lain Budi Karya Sumadi tetap di posisi Menteri Perhubungan, Basuki Hadimuljono tetap sebagai Menteri Perumahan Rakyat dan Pekerjaan Umum (Men-PUPR), Sri Mulyani Endarwati tetap pada posisi Menteri Keuangan, Luhut Binsar Panjaitan tetap di posisi Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Airlangga Hartanto sebagai Menteri Koordinator Perekonomian dan Sofyan Djalil pada posisi Menteri Agraria Tata Ruang (ATR)/ Kepala Badan Pertanahan Negaran (BPN).
Untuk Budi, Basuki, Luhut dan Sri Mulyani, mungkin saja Jokowi melihat kinerja mereka cukup baik dan mampu menerjemahkan visi dan misinya yang lalu. Selain itu kedepan nya, di visi dan misi Jokowi di periode kedua, peran empat orang ini mungkin akan sangat besar. Bisa dikatakan mereka akan menjadi ujung tombak Jokowi. Sebab, Jokowi masih memfokuskan pada infrastruktur, investasi, dan ekonomi selain kualiatas SDM.
Sementara untuk Airlangga Hartanto dan Sofyan Djalil di kabinet Jokowi jilid II ini posisinya ditukar. Hal ini dikarenakan Jokowi ingin Airlangga Hartanto dapat memperkuat ekonomi negara dari segi industri agar lebih maju.Â
Jokowi agaknya cukup percaya dengan kemampuan Airlangga dan dapat memahami serta mengimplementasi visi-misinya. Sebab dalam pidato kenegaraan dalam rangka pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di Gedung MPR/ DPR lalu, Jokowi banyak menyebut perihal ekonomi dan pembangunan sebanyak empat kali.
Sedangkan Sofya Djalil kali ini di swing Jokowi  ke posisi Menteri Agraria Tata Ruang (ATR)/ Kepala Badan Pertanahan Negaran (BPN). Hal ini berhubungan dengan isu sentral lima tahun kedepan yaitu pemindahan ibu kota.
Jokowi cukup percaya dengan kemampuan Sofyan, apalagi Sofyan sudah beberapa kali berganti posisi menteri di dua pemerintahan yaitu Jokowi dan SBY dan mampu mengembannya dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H