Mohon tunggu...
Aristotahes
Aristotahes Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Mahasiswa Tuna Asmara

Enjoy Reading ... :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bhairawa Tantra, Nasi Tumpeng, dan Pluralisme

9 Januari 2020   19:30 Diperbarui: 9 Januari 2020   19:41 7453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

  • Sejarah Singkat

Dalam suatu etnis ataupun suku pasti tak akan lepas dari yang namanya sejarah atau asal usul yang dimana setiap darinya selalu meliliki keunikan sejarahnya sendiri.seperti. Seperti halnya salah satu makanan khas masyarakat jawa dalam acara atau ritual tertentu yaitu nasi tumpeng yang hal ini masih memiliki relasi dengan sekte atau ajaran kuno yang pernah berkembang dengan populer di tanah Jawa pada masa Walisongo yang saat itu melakukan pendekatan dengan fokus pada sisi kultural di tanah Jawa.

Ada salah satu aliran kuno yang pernah hidup di dalam msyarakat nusantara khususnya dalah masyarakat jawa yang terkenal dengan istilah nama "Bhairawa Tantra". Aliran ini adalah sekte kebalikan dari ajaran Hindu yang menyatakan, untuk mencapai nirwana, manusia harus meninggalkan sisi keduniawian. Mereka menolak menyembah langit atau Tuhan untuk mencapai nirwana dan memilih menyembah Dewi Bumi. Dalam beberapa media baca disebutkan bahwasannya di Jawa saat itu sudah ada Kerajaan Kalingga yang dipimpin Ratu Shima yang dimana wilayah kekuasaannya dari Jepara hingga Dieng. Banyak dari penduduknya menjadi penganut Bhairawa Tantra, yakni paham yang percaya bahwa mengumbar hawa nafsu dapat mengantarkannya ke nirwana (surga)[1]

Ajaran Bhairawa Tantra sebenarnya bukan merupakan sempalan dari penganut ajaran Hindu dan Budha. Meski demikian, jumlah mereka terus bertambah dan ajarannya berkembang pesat di masyarakat. Aliran tersebut juga tertutup pada pendatang yang  

membawa ajaran baru, termasuk sangat tertutup saat datangnya ulama dari daerah Timur Tengah yang ingin menyebarluaskan islam di tanah jawa ini. Jika mereka tau akan keberadaan ada orang baru di wilayahnya mereka langsung dimakan untuk ritual Bhairawa Tantra. Darahnya diminum, dagingnya dimakan. Hal ini yang mengakibatkan ajaran baru sulit masuk ke Jawa, karena orang-orangnya dikenal sangat sakti dari hasil menjalani ritual menyimpang. 

Ada beberapa pendapat dan spekulasi yang menyatakan bahwa mereka adalah hasil dari pecahan Hindu Ciwa dan bertemu dengan pecahan Budha aliran Mahayana. Mereka menggelar ritual menyimpang di suatu tanah padang, yang dimana tanahnya terdapat tumpeng dan lauk berupa daging manusia dari seorang perawan yang belum masuk masa haid. Sementara minumannya adalah arak. Usai ritual itu mereka melakukan persetubuhan massal. Ritual tersebut sangat kuat di tengah masyarakat jawa, hingga pada abad 8-14 Masehi, China, Ulama timur tengah dan Arab kesulitan masuk Jawa dikarenakan hal tersebut. "Wali Songo masuk dengan melakukan pendekatan budaya atau kultural, misalnya oleh Sunan Bonang. Beliau ini yang memburu Bhiarawa Tantra. Pertarungan budaya antara Sunan Bonang dengan Bhairawa Tantra ini terlihat di Kediri tepatnya di daerah Pagu Pamenang yang disana mereka menyembah patung Totok Kerot.

Masih banyak misteri dan rahasia yang terkandung dalam Tantra. Namun, yang tidak semua anggota sekte atau kelompok yang mengetahui kebenaran ajaran tersebut. Dalam beberapa catatan sejarah mengatakan bahwasannya Sekte Bhairawa berasal dari Kerajaan Benggala Timur, India pada abad Ke-6. Dalam perjalanannya, sekte ini menyebar ke wilayah Tibet hingga ke Asia Tenggara. Sekte Bhairawa dikenal sebagai sekte rahasia, dan sekte ini memiliki cara yang berbeda dalam mencapai Moksa. Pada Prasasti Suroaso yang berangka tahun 1297 ini, memaparkan dengan jelas segala aktivitas sekte Bhairawa, khususnya di Nusantara. Dalam prasasti tersebut diceritakan bahwa Raja Adityawarman diangkat sebagai Ksetrajnya. Ksetrajnya memiliki arti ia yang tertinggi atau ia yang telah mencampai kebebasan jiwa tertinggi.

Para ahli dan pakar sejarah juga menyebutkan bahwa Tantra Bhairawa adalah sekte rahasia dari sinkretisme antara agama Budha aliran Mahayana dengan agama Hindu aliran iwa. Sekte ini muncul kurang lebih pada abad ke-6 M di Benggala sebelah timur. Dari sini kemudian tersebar ke utara melalui Tibet, Mongolia, masuk ke Cina dan Jepang. Sementara itu cabang yang lain tersebar ke arah timur memasuki daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada dasarnya Pengikut sekte Bhairawa Tantra selalu berusaha mencapai kebebasan dan pencerahan (moksa) dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Ciri-ciri mereka ini adalah anti asketisme dan anti berpikir.

Menurut para pengikutnya pencerahan bisa diraih melalui sebuah kejenuhan total terhadap kenikmatan duniawi. Tujuan ini secara penuh memanjakan kenikmatan hidup dengan tanpa mengenal kekangan moral dengan puncaknya adalah untuk melenyapkan segala hasrat terhadap semua kenikmatan itu. Dengan memenuhi segala hasratnya, seorang pengikut sekte ini akhirnya tidak merasakan apa pun selain rasa jijik terhadap kenikmatan tersebut. Oleh karena itulah, pengikut ajaran  ini justru melakukan ritual-ritual tertentu yang bagi selain mereka dianggap sebagai larangan. Hal ini sebagai usaha agar manusia bisa secepatnya meniadakan dirinya sendiri dan mempersatukan dirinya dengan Dewanya yang tertinggi. Ritual mereka bersifat rahasia dan sangat mengerikan, yaitu menjalankan Pancamakarapuja ataumalima (lima Ma) dengan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya.

Lima Ma tersebut sebagi berikut :

  • Matsya (ikan)
  • Mamsa (daging)
  • Madya (minuman)
  • Madra (tarian hingga mencapai ekstase)
  • Maithuna (upacara seksual).

Praktek malima adalah dengan menyembelih perawan yang diutamakan belum masuk masa haid sebagai wujud persembahan kepada dewa yang agung, kemudian meminum darahnya bersama, tertawa-tawa, dan menari-nari dengan diiringi oleh bunyi-bunyian dari tulang-tulang manusia yang dipukul-pukul hingga menimbulkan suara gaduh. Ritual dilanjutkan dengan makan dan minum bersama. Setelah itu dalam acara yang dilakukan di lapangan yang disebut ksetra, para peserta ritual melakukan persetubuhan massal, yang kemudian diikuti dengan semedi, bertapa ataupun meditasi.

Salah satu isi dari kandungan ajarannya yaitu Pancha Tattva yang hal ini bersifat amat sangat sesensial dalam ritual pemujaan. Tattva sendiri terdiri dari anggur(Madya), daging (Mamsa), ikan(Matsya), biji-bijian yang telah dipanggang (Mudra) dan serta hubungan seks bebas (Maithuna). Karena itu semua diawali dengan huruf M, maka mereka seringkali secara vulgar disebut: Pancha-ma-kara atau Lima M. Pancha Tattva mewakili minum,

makan dan  pertumbuhan. Pancha Tattva persembahyangan dengan menggunakan lima elemen guna menghapuskan dosa- dosa besar, Maha-pataka-nasanam. Pancha Tattva tidak selalu menyandang arti literal/harfiah-nya.

  • Peran Walisongo

Penyebaran Islam di tanah Nusantara ini tak bisa lepas dari peran serta Walisongo dan generasi sebelumnya yang melakukan pendekatan kultural di tanah Jawa. Apalagi kala itu, penduduk Jawa dikenal paling susah menerima ajaran Islam karena telah punya paham Bhairawa Tantra. Dalam pertarungan budaya antara Sunan Bonang dengan Bhairawa Tantra ini terlihat di Kediri yang lebih tepatnya di daerah Pagu Pamenang[1].

Aliran yang terkenal sadis dan menyimpang ritualnya ini di hadapi oleh Sunan Bonang dengan membuat ritual serupa di sebelahnya. Misalnya kalau yang aliran itu menggunakan tumpeng daging manusia, Sunan Bonang memakai daging ayam, dan mengganti arak sebagai minumannya dengan air putih. Jika di sebelah menggunakan bacaan mantra-mantra maka Sunan Bonang menggunakan bacaan tahlil dan sebagainya. Maka sampai saat ini sebagian masyarakat Jawa masih melakukan acara atau doa bersama dengan makanan tumpeng, ayam ingkung dan sebagainya, dengan di iringi bacaan kalimah tauhid, tahmid, dan zikir oleh pesertanya dan doa-doa yang di bacakan oleh ustadz atau kiyai. Jika tidak menggunakan pendekatan budaya 

seperti yang dilakukan oleh wali songo mungkin Islam tidak akan mudah di terima oleh masyarakat di pulau jawa. semoga artikel ini bisa memberikan informasi dan pengetahuan tentang sejarah penyebaran agama Islam di pulau Jawa[1]. Sejarah dan hubungan antara Walisongo dengan Bhairawa Tantra ini juga pernah dijabarkan oleh salah satu Ulama terkemuka bernama KH. Ahmad Muwafiq atau terkenal dengan nama Gus Muwafiq.

Dalam salah satu isi tausyiahnya mengatakan bahwasannya dulu di Nusantara ini pernah ada salah satu aliran ekstrem yang dimana ritualnya Pancamakara yang dimana hal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal adanya tradisi Tumpengan di Indonesia. Tumpeng ini dulu adalah ajaran asli dari nenek moyang / luhur orang jawa dulu yang masih kental dengan persembahan dewa dewi dengan cara yang kurang baik atau bisa dikatakan ekstrem. Bhairawa Tantra ini dulu upacara ritualnya yaitu laki-laki dan perempuan berkumpul membentuk lingkaran di sebuah tanah lapang yang disana melakukan ritual panca makara melakukan 5 hal terlarang dalam sudut panang islam. Orang Bhairawa ini sebenarnya ingin mati dalam keaadaan yang baik, yaitu moksa hilang raga serta sukmanya. Namun dilain sisi orang bhairwa sendiri menginginkan hal yang lebih instan dengan 3 tahapan, yaitu :

  • Upanisan (menghilangkan identitas/pengasingan)
  • Kabumian (laku tirakat seperti Bumi)
  • Upawasa (Menahan hawa nafsu)

Jika seorang telah melewati 3 tahapan diatas dengan lancer maka orang tersebut dapat hilang atau lenyap dari dunia langsung menuju nirwana atau surge. Namun tentu saja hal ini sangat dilarang dalam agama Hindu, Budha dan Islam karena menggunakan cara yang menyimpang dan dapat terbilang sangat ekstrem. Ketika seorang bhairawa telah berhasil melewati semuanya maka orang tersebut akan mendapatkan suatu kekuatan sakti, yaitu jika seseorang tersebut ingin mencintai orang lain dapat digunakan pellet, jika indin mencuri harta benda maka bisa digunakan untuk ngepet dan jika ingin digunakan untuk melukai atau membunuh orang maka bisa juga digunakan untuk nyantet.

Namun jika dalam tahap akhir yaitu upawasa dia gagal, maka tubuhnya akan berubah menjadi Bathara Katong atau orang biasa menyebut dengan nama Jenglot.

Gus muwafiq juga menuturkan, orang-orang Bhairawa ini pernah berhadapan langsung dengan salah satu wali yang masuk dalam jajaran walisongo, yaitu Sunan Bonang. Dalam salah satu kesempatan, Sang sunan bertemu dengan pemimpin Bhairawa dengan maksud ingin mengajak masuk Islam dengan cara damai tanpa kekerasan, namun pemimpin bhairawa bersikeras untuk melawan dan ingin membunuh sang sunan, alhasilpertempuran antara Sunan Bonang dengan pemimpin Bhairawa Tantra puntak dapat dihindarkan. Karena merasa kalah akhirnya seluruh penganut Bhairawa Tantra pun berniat untuk kabur dan mencari tempat persembunyian yang aman dari jangkauan sang sunan namun usaha tersebut dinilai gagal karena sang sunan memiliki karomah dapat berpindah tempat secara cepat.

Banyak para penganut Bhairawa yang melarikan diri yaitu ke barat hingga daerah Banten, lari ke Timur hingga masuk ke alas Purwo Banyuwangi, lari kedaerah selatan sampai ke daerah Pagu Pamenang Kediri dan menyembah patung Totok Kerot, sebagian lagi lari ke daerah Lumajang hingga masuk ke pedalaman sekitar Bromo dan membuat perkumpulan baru Suku Tengger serta yang paling jauh ada yang sampai di Bali dan mengajarkan ilmu leak. Sunan Bonang pun membuat persetujuan dengan sang pemimpin yang ada di Banyuwangi bernama Minak Sembuyu dan Bajul Sengoro.

Sang Sunan memberi pilihan untuk memilih Syahadat atau mereka semua akan dibunuh. Tentu saja pemimpin memilih untuk bersyahadat, lalu setelah itu Sunan Bonang mengubah ajaran mereka yang semula berupa ritual makan tumpeng, inkung manusia, air arak, dan membaca mantra diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam menjadi ritual tumpeng yang lebih Islami yaitu seluruh anggotanya diwajibkan memakai pakaian, arak diganti air putih, ingkung lodho manusia diganti ayam, mantra nya diganti dengan kalimat Tayyibah dan Shalawat. Dari sinilah awal mula tradisi Tumpengan lahir karena adanya akulturasi budaya dan adat dari Bhairawa Tantra dengan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam yang kemudian menjadi adat istiadat warga setempat hingga merambah hingga seluruh daerah yang ada di Nusantara.

  • Filosofi Tumpeng

Sebagai salah satu hasil dari akulturasi atau penggabungan antara dua elemen penting, tumpeng juga memiliki makna dan arti secara filosofis yang hal ini menjadikan makanan dan sajian tumpeng ini menjadi sedikit bersifat sacral. Dari sisi penamaanya Tumpeng berasal dari sebuah singkatan 'yen metu kudu mempeng' yang memiliki arti tersendiri. Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, 'yen metu kudu mempeng' berarti 'ketika keluar harus sungguh-sungguh semangat.'

Dalam sajiaanya nasi tumpeng memiliki makna sebagai berikut :

  • Nasi putih

Nasi dibentuk menjadi bentukan kerucut dapat diartikan sebagai harapan agar hidup selalu sejahtera, melambangkan tangan merapat untuk selalu menyembah Tuhan, dan sebagai simbol pengharapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin sukses. Nasi yang digunakan biasanya nasi putih ataupun uduk. Warna putih berarti suci sehingga nasi tumpeng jenis ini kerap disajikan dalam upacara keagamaan. Sementara warna kuning melambangkan kesejahteraan, kekayaan, atau rezeki yang melimpah.

  • Ayam
  • Ayam ingkung menjadi simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Dimana ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge"reh" rasa).
  • Ikan lele
  • nasi tumpeng juga dilengkapi dengan ikan lele. Meski kini kebanyakan orang memilih jenis ikan lain sebagai lauk nasi tumpeng, karena bentuk ikan lele yang kurang begitu menarik. Ikan lele menjadi simbol dari ketabahan dan keuletan dalam hidup. Sebab ikan lele mampu bertahan hidup di air yang tidak mengalir dan di dasar sungai.
  • Ikan teri
  • Ikan ini menjadi simbol dari ketabahan, keuletan dalam hidup dan sanggup hidup dalam situasi ekonomi yang paling bawah sekalipun. Lauk lain yang disajikan adalah ikan teri. Ikan ini biasanya digoreng dengan atau tanpa tepung. Ikan teri selalu hidup bergerombol. Filosofi yang dapat diambil, sebagai contoh dari kebersamaan dan kerukunan.
  • Telur

Telur disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong sehingga untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Piwulang jawa mengajarkan "Tata, Titi, Titis dan Tatas", yang berarti etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan,dan diselesaikan dengan tuntas. Telur juga menjadi simbol jika manusia diciptakan dengan fitrah yang sama. Yang membedakan nantinya hanyalah ketakwaan dan tingkah lakunya.

  • Sayur urap

Kangkung berarti jinangkung yang berarti melindung, Bayam (bayem) berarti ayem tentrem, Taoge/cambah yang berarti tumbuh, Kacang panjang berarti pemikiran yang jauh ke depan, Bawang merah melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang baik buruknya, Kluwih berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding lainnya, dan Bumbu urap berarti urip/hidup atau mampu menghidupi (menafkahi) keluarga.

  • Cabe merah
  • Hiasan cabe ini melembangkan api yang memberikan penerangan yang bermanfaat bagi orang lain.
  • Kesimpulan Sisi Pluralisme dalam tradisi tumpengan

Hikmah dari lahirnya tradisi tumpengan juga tak bisa dipisahkan dengan yang namanya sisi kebersamaan dan jiwa gotong royong yang selalu melekat dalam diri serta jiwa bangsa Indonesia terutama di pulau jawa karena sebagai lokasi utama tempat lahirnya budaya atau adat tersebut. Dalam tradisi ini juga dapat kita jumpai sisi kebersamaan dalam sisi Theology yang dimana dalam pelaksanaanya tidak hanya diikuti oleh kaum muslim melainkan juga diikuti dengan khidmat oleh saudara non-muslim yang lainnya, dengan demikian dalam satu kesatuan acaranya juga mengedepankan sikap pluralis dan toleransi antar umat beragama yang hal ini dapat menjadi salah satu sarana silaturahmi.

Saya menyimpulkan sisi kebersamaan juga sangat kental terasa ketika ada pembagian makanan atau sedekah kepada para jamaah dan hadirin yang ikut serta dalam kegiatan tersebut yang juga tak kalah pentingnya yaitu biasanya makan menggunakan tangan langsung tanpa sendok dan tanpa menggeser tempat nasi serta tempat duduk.

Ini juga sebagai gambaran kebersamaan canda tawa, yang dimana disetiap suapan nasi yang masuk kemulut juga mengandung nutrisi kebahagiaan, dengan demikian rasa pluralisme bisa terasa sehingga juga menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain dan mereka hidup bersama (koeksistensi) serta dapat membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi yang jika dipaparkan lebih mendalam dapat menguraikan sebuah konsep yang mempunyai makna luas dan universal sehingga semuanya dapat hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, golongan, agama, adat, hingga pandangan hidup, sehingga juga mengimplikasikan pada tindakan yang bermuara pada pengakuan kebebasan beragama, kebebasan berpikir, atau kebebasan mencari informasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun