Mohon tunggu...
Aristotahes
Aristotahes Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Mahasiswa Tuna Asmara

Enjoy Reading ... :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bhairawa Tantra, Nasi Tumpeng, dan Pluralisme

9 Januari 2020   19:30 Diperbarui: 9 Januari 2020   19:41 7453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagai salah satu hasil dari akulturasi atau penggabungan antara dua elemen penting, tumpeng juga memiliki makna dan arti secara filosofis yang hal ini menjadikan makanan dan sajian tumpeng ini menjadi sedikit bersifat sacral. Dari sisi penamaanya Tumpeng berasal dari sebuah singkatan 'yen metu kudu mempeng' yang memiliki arti tersendiri. Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, 'yen metu kudu mempeng' berarti 'ketika keluar harus sungguh-sungguh semangat.'

Dalam sajiaanya nasi tumpeng memiliki makna sebagai berikut :

  • Nasi putih

Nasi dibentuk menjadi bentukan kerucut dapat diartikan sebagai harapan agar hidup selalu sejahtera, melambangkan tangan merapat untuk selalu menyembah Tuhan, dan sebagai simbol pengharapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin sukses. Nasi yang digunakan biasanya nasi putih ataupun uduk. Warna putih berarti suci sehingga nasi tumpeng jenis ini kerap disajikan dalam upacara keagamaan. Sementara warna kuning melambangkan kesejahteraan, kekayaan, atau rezeki yang melimpah.

  • Ayam
  • Ayam ingkung menjadi simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Dimana ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge"reh" rasa).
  • Ikan lele
  • nasi tumpeng juga dilengkapi dengan ikan lele. Meski kini kebanyakan orang memilih jenis ikan lain sebagai lauk nasi tumpeng, karena bentuk ikan lele yang kurang begitu menarik. Ikan lele menjadi simbol dari ketabahan dan keuletan dalam hidup. Sebab ikan lele mampu bertahan hidup di air yang tidak mengalir dan di dasar sungai.
  • Ikan teri
  • Ikan ini menjadi simbol dari ketabahan, keuletan dalam hidup dan sanggup hidup dalam situasi ekonomi yang paling bawah sekalipun. Lauk lain yang disajikan adalah ikan teri. Ikan ini biasanya digoreng dengan atau tanpa tepung. Ikan teri selalu hidup bergerombol. Filosofi yang dapat diambil, sebagai contoh dari kebersamaan dan kerukunan.
  • Telur

Telur disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong sehingga untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Piwulang jawa mengajarkan "Tata, Titi, Titis dan Tatas", yang berarti etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan,dan diselesaikan dengan tuntas. Telur juga menjadi simbol jika manusia diciptakan dengan fitrah yang sama. Yang membedakan nantinya hanyalah ketakwaan dan tingkah lakunya.

  • Sayur urap

Kangkung berarti jinangkung yang berarti melindung, Bayam (bayem) berarti ayem tentrem, Taoge/cambah yang berarti tumbuh, Kacang panjang berarti pemikiran yang jauh ke depan, Bawang merah melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang baik buruknya, Kluwih berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding lainnya, dan Bumbu urap berarti urip/hidup atau mampu menghidupi (menafkahi) keluarga.

  • Cabe merah
  • Hiasan cabe ini melembangkan api yang memberikan penerangan yang bermanfaat bagi orang lain.
  • Kesimpulan Sisi Pluralisme dalam tradisi tumpengan

Hikmah dari lahirnya tradisi tumpengan juga tak bisa dipisahkan dengan yang namanya sisi kebersamaan dan jiwa gotong royong yang selalu melekat dalam diri serta jiwa bangsa Indonesia terutama di pulau jawa karena sebagai lokasi utama tempat lahirnya budaya atau adat tersebut. Dalam tradisi ini juga dapat kita jumpai sisi kebersamaan dalam sisi Theology yang dimana dalam pelaksanaanya tidak hanya diikuti oleh kaum muslim melainkan juga diikuti dengan khidmat oleh saudara non-muslim yang lainnya, dengan demikian dalam satu kesatuan acaranya juga mengedepankan sikap pluralis dan toleransi antar umat beragama yang hal ini dapat menjadi salah satu sarana silaturahmi.

Saya menyimpulkan sisi kebersamaan juga sangat kental terasa ketika ada pembagian makanan atau sedekah kepada para jamaah dan hadirin yang ikut serta dalam kegiatan tersebut yang juga tak kalah pentingnya yaitu biasanya makan menggunakan tangan langsung tanpa sendok dan tanpa menggeser tempat nasi serta tempat duduk.

Ini juga sebagai gambaran kebersamaan canda tawa, yang dimana disetiap suapan nasi yang masuk kemulut juga mengandung nutrisi kebahagiaan, dengan demikian rasa pluralisme bisa terasa sehingga juga menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain dan mereka hidup bersama (koeksistensi) serta dapat membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi yang jika dipaparkan lebih mendalam dapat menguraikan sebuah konsep yang mempunyai makna luas dan universal sehingga semuanya dapat hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, golongan, agama, adat, hingga pandangan hidup, sehingga juga mengimplikasikan pada tindakan yang bermuara pada pengakuan kebebasan beragama, kebebasan berpikir, atau kebebasan mencari informasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun